KARTU NAMA ITU

  

Tadi, saat bongkar-bongkar lemari, saya nemu tumpukan kotak kartu nama yang berisi berlapis-lapis memori. Sebagian berisi nama narasumber pejabat, pengusaha, akademisi, dan publik figur yang kudapat dari liputan di lapangan. Serta sejumlah identitas rekanan, komunitas UMKM, teman alumni, hingga kenalan sambil lalu.  

Saya jadi terkenang kembali era ketika kartu nama begitu keren dan berharga. Di saat kita berkenalan dengan kolega kerja baru, maka acara saling tukar name card selalu menjadi ritual wajib. Jadi tersipu malu ketika diminta kartu, kita tidak punya. 

Bahkan sampai berkembang semacam etika bagaimana cara santun menerima pemberian kartu dari rekanan. Seyogyanya menerima dengan dua tangan sebagai penghargaan. Jangan terburu dimasukin kantong, meski tidak begitu respek. Perlu dibaca-baca sekilas dan dikomentari seperlunya, seperti bidang usahanya apa saja, tentang jabatannya, atau minimal bilang: “kereen.” 

Bagaimanapun kartu nama, bukan secarik kertas biasa. Dia mengandung identitas, juga prestise. Kalau di kartu itu tercetak jabatan direktur utama dari perusahaan bonafide atau tertera gelar akademik  lengkap beserta logo kampus terkenal, tentu bikin iri. Agaknya di dalam kartu nama memang tersirat kasta pemiliknya. 

Hingga kini kartu nama masih laku, meski sebagian besar perannya telah terdisrupsi oleh kecanggihan teknologi komunikasi. Kini orang tak perlu tanya kartu nama, cukup tukar-menukar nomer WA, memberi tahu alamat email, website, akun medsos IG, Facebook, atau channel Youtube. 

Ya, pelan tapi pasti, kartu nama semakin ditinggalkan. Tetapi bukan berarti simbol dan identitas diri tak berguna lagi. Terbukti semua hanya berganti medium semata. Dari cetak manual bermetamorfosis menjadi digital. Maka orangpun berbondong membuat akun online demi menyematkan nama, memasang foto selfi, upload status, unjuk properti, wahana ekspresi, hingga memajang dagangan. 

Suatu hari, dalam sebuah pertemuan, salah satu pimpinan BUMN di Jakarta meminta dicarikan persewaan lighting untuk panggung pertunjukan. Lalu temanku menyebut satu nama event organizer.  Dia spontan meraih smartphone lalu mengetik nama yang direkomendasikan tersebut. 

“Mana? Ndak ada tuh namanya di sini,” katanya seraya menunjukkan layar hape ke arah kami. Sejak saat itu saya tersadarkan bahwa identitas digital telah menjadi salah satu standar mutu, apakah sebuah badan usaha cukup profesional bila diserahi pekerjaan. Tampilan company profile di website, mudahnya terlacak mesin pencari Gugel, telah menjadi semacam kartu nama model baru. 

Digitalisasi memang mengubah banyak hal. Identitas orang per orang terekam diam-diam, dan terbaca oleh banyak pihak berkat kecanggihan sistem algoritma dan internet of think. Menyadari akan hal ini, agaknya kita perlu bijak dengan memanfaatkan teknologi online. 

Apa yang kita unggah ke medsos merupakan ejawantah diri kita. Bila status kita penuh hujat sana caci sini, ya itulah portopolio yang kita himpun. Bila kita cuma curhat, mengeluh, dan mengutuki keadaan, yang begitu itulah curriculum vitae yang kita proklamirkan ke dunia maya. 

Sebaliknya jika yang diunggah adalah karya, pemikiran inspiratif dan kritis, atau info solutif, tentu akan bermanfaat bagi sesama. Serta memberi nilai tambah bagi kita sendiri. Apalagi kini jejak digital mulai dipandang sebagai salah satu referensi. 

Di sejumlah negara maju, jejak digital seseorang sudah dijadikan sebagai salah satu poin dalam merekrut karyawan atau pertimbangan bank dalam memberi kredit kepada calon debitur. Dari jejak digital memang dapat ditelisik identitas orang yang bersangkutan, siapa saja komunitasnya, apa yang unggah, hobi, reputasi, pola perilaku, hingga  kecenderungan sikap politiknya. 

Jikalau ternyata akun kita kebanyakan cuma dipakai untuk menyisir etalase produk dan belanja online, otomatis nama kita bakal terdeteksi oleh sistem. Kita pun terperangkap jadi obyek. Menjadi sasaran empuk pedagang online yang semakin buanyak dan agresif itu. (*)

 adrionomatabaru.blogspot.com

 

 

 

Previous
Next Post »