Saat aku masih bocah, ibu melarangku menyuarakan
takbir sembarangan. Takbir hanya boleh diucapkan pada dua waktu saja: Idul
Fitri dan Idul Adha.
“Kenapa memang?” tanyaku, setengah kepo setengah protes.
Menurut ibu, saat hari dikumandangkan takbir, siksa
bagi penduduk alam kubur diistirahatkan sementara. “Kalau kamu takbir ngawur,
kasihan, mereka bisa kecele. Dikira hari raya telah tiba.”
Saya tidak tahu itu berdasar riwayat sahih atau
sekadar trik untuk nakut-nakuti anak, tapi saya mendengarkan saja semuanya,
tanpa menyanggah. Sebab mendengar kata “siksa” saja nyali saya sudah menciut.
Waktu itu saya hanya berharap semoga siksa kubur itu tidak ada, sebab sungguh
tak terbayangkan betapa pedihnya.
Kini, ibu dan bapak saya telah swargi.
Seraya tak henti mengumandangkan takbir bersama jamaah
sholat Idul Fitri, terputar kembali memori
itu. Sama seperti dahulu, sayapun berkeinginan agar siksa kubur itu pernah ada.
Atau setidaknya jangan sampai menimpa kedua orang tuaku. Semoga yang dijumpai hanya nikmat kubur semata.
“Ya Allah, sayangilah kedua orang tuaku, sebagaimana
mereka menyayangiku di saat aku kecil.” (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon