MALAM GANJIL GENAP



Tengah malam ini kuterjaga dengan sendirinya. Tumben. Padahal biasanya baru melek bila alarm hape sudah menjerit berulang-kali. Badan terasa segar ketika kulirik jam dinding masih menunjuk pukul setengah satu. Wajar segar, saya sudah terkapar pulas semenjak sore tadi.

Tetapi segera kusadari bahwa malam ini bukan malam ganjil. Malam yang katanya merupakan waktu turunnya lailatul qadar. Ah, kenapa kok bisa bangun justru di malam genap? Kenapa tidak kemarin malam atau besok malam saja bisa terjaga seperti ini. Kenapa tubuhku makin tidak bisa disetel sesuai kemauanku?  

Boleh jadi ini fenomena wajar orang usia kepala lima, atau sebentuk kemalasan, atau setannya yang begitu kuat menyelimutiku. Yang jelas, mood jadi melorot kembali, lalu berguling merebahkan diri, siap melanjutkan mimpi.

Begitu dituruti, ternyata mata tidak kunjung bisa pejam. Kalau begitu, kenapa tidak bangkit saja lantas mengambil air wudhu, lalu dengan tenang mengheningkan cipta? Lupakan saja soal malam ganjil genap. Sebab kapan malam ganjil kapan genap itu sebenarnya juga debatable. Malam di Indonesia sama dengan siang di belahan bumi Amerika. Kalau di sini malam qadar apa di sana siang qadar, begitukah? Tanggal ganjil likur-likuran itu ditentukan dari titik mana? Sudahlah.

Dalam sepi malam, apa yang mesti diminta, selain rasa sesal dan minta maaf? Hingga setua ini saya selalu merasa kurang maksimal dalam beribadah. Sebagian besar hari-hari masih terlewati dengan urusan pekerjaan, demi memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan duniawi. Celakanya, semakin dekat Lebaran, kok ya makin bertambah banyak saja yang harus dikerjakan. Lalu keinginan untuk meniru teman-teman aktif tadarrus dan ihtikaf di masjid menjadi sebatas keinginan. Selalu saja badan tumbang ketika hari belum begitu malam. Tidak jelas, ini pertanda kecapekan ataukah kemalasan yang akut.

Kini, menjelang habis bulan Ramadhan, kiranya tidak ada yang perlu diwiridkan kecuali astaghfirullahhaladzim tiada henti. “Ya Allah Gusti, nyuwun pangaksami. Sampun dangu kulo ninggalke agami, infaq, shodaqoh, lan kitab suci. Nyuwun tuntunan Illahi Robbi.” 1)

Ingin rasanya membaca semua ayat-ayatMu hingga tuntas. Tapi terasa begitu panjang surat-surat yang musti didaras, dalam waktu yang selalu saja terasa pendek. Lantas “akal bulus” pun muncul. Kalau begitu baca saja surat Al-Ikhlas berkali-kali, minimal tiga kali. Sebab, bukankah kanjeng Nabi sudah dawuh bahwa membaca surat Al-Ikhlas itu sama dengan membaca 1/3 Al Quran?

Alam masih sunyi, ketika saya berandai-andai bahwa lailatul qadar benar-benar turun saat ini. Tetapi kalaupun bukan saatnya, saya juga tidak apa-apa.

Setidaknya saya sudah terhibur dengan pendapat Buya HAMKA, bahwa inti lailatul qadar adalah pencerahan. Seperti masuk Islamnya Umar bin Khattab, tatkala membaca lembaran mushaf yang direbut paksa dari adiknya. Seperti yang terjadi pada diri pemuda Fudhail ibn Ayyadh yang urung melaksanakan nafsu maksiatnya, gara-gara perempuan yang diincarnya tengah membaca Al-Hadid ayat 36.

“Malam ketika dia mendengar ayat Quran, lalu tergetar hatinya dan berubahlah perilakunya, itulah lailatul qadr,” ungkap penulis buku Tasawuf Modern itu. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com

* Matur nuwun Bpk Djuwari, Bpk. Yusron, status njenengan turut memperkaya tulisan ini.
1) Diambil dari lirik shalawat Ki Sudrun-Kyai Kanjeng berjudul “Astaghfirullah”
Foto: fokusriau.com

Previous
Next Post »