Tidak ada pemimpin ideal. Selalu ada kekurangan dan
kelebihan pada dirinya. Bahkan pada sisi-sisi keunggulan atau kebaikan yang
dipunyai pemimpin, kadang malah menjadi titik lemah yang dapat dimanfaatkan
oleh lawan politiknya. Kisah epik Mahabharata menggambarkan dengan menawan
mengenai hal itu.
Siapa pewaris ideal tahta kerajaan mashur
Hastinapura saat raja Sentanu ingin tenang lengser
keprabon? Jawabnya, mungkin, Dewabrata atau Bisma. Dia putra mahkota perkasa,
kompeten, dan bijaksana yang lahir dari rahim agung Dewi Gangga. Tapi Sentanu
menghadapi dilema: harus memenuhi hak
anak ataukah mengikuti kemauan Setyawati (janda ambisius yang menjadi isteri
barunya).
Sementara hati Bisma terlalu putih. Tak ingin rumah
tangga ayahanda pecah maka dia mengalah dengan menuruti shawat politik Setyawati,
yang amat menginginkan anak kandungannya tampil menjadi penguasa tertinggi
bangsa Kuru itu.
Bisma pun bersumpah untuk tidak akan menikah
selamanya, agar tidak sampai melahirkan keturunan, dan agar keinginan “ibunda” Setyawati
terwujud kelak. Bisma rela mengambil posisi sebagai “pelayan dan pelindung keutuhan
negara” meski kekuasaan dan mahkota telah ada dalam genggamannya.
Tapi yang terjadi kemudian, Setyawati melahirkan Wicitrawirya,
yang berkepribadian lemah dan pemabuk berat. Dengan kualitas dan tabiat seperti
itu toh dia dipaksakan tampil menjadi raja. Untung takdir berbicara lain. Saat
mahkota kerajaan hendak diletakkan di kepalanya, pada hari penobatan, calon raja itu muntah darah dan wafat.
Sekian tahun sepeninggal Wicitrawirya, hadir dua kandidat
raja Hastinapura dari rahim Ambika dan Ambalika yang berpeluang menjadi penerus
dinasti: Destrarastra dan Pandu. Oh, ada satu lagi: Widura. Tapi yang satu ini kurang
legitimated, karena dia lahir dari
seorang pelayan istana.
Destrarastra tampil menjadi sosok kuat dan ahli
perang berkat gemblengan sang kakek Bisma. Tetapi si sulung ini memiliki
kelemahan bawaan: dia tunanetra.
“Apakah seorang yang buta matanya semenjak lahir
layak menjadi raja? Bagaimana mungkin dia bisa melihat kesengsaraan rakyat dan
melindungi negaranya?” ujar Widura, beberapa saat menjelang upacara diangkatnya
Destrarastra menjadi raja. Menurutnya, bila negara dipimpin oleh raja yang
lemah, maka perdana menteri dan jajaran bawahannya akan bertindak kurang ajar dan
masyarakat akan meremehkan titahnya.
Widurapun mengusulkan, demi kepentingan bangsa yang
lebih besar, maka lebih baik Pandu, adik Destrarastra, yang diberi amanah
memimpin negara. Bisma mengangguk setuju. Setyawati tidak enak hati. Sedang Pandu
yang lembut menerima anugerah itu dengan nelangsa dan linangan airmata.
Kemudian kita semua tahu, naiknya Pandu di puncak
tampuk kepemimpinan justru menjadi bibit awal pecahnya Bharatayuda, perang
saudara yang mahadahsyat itu. Perang antara keluarga Pendawa keturunan dari Pandu
dengan keluarga Kurawa keturunan dari Destrarastra.
Sifat ksatria dan pantang berbohong dari lima putra
Pendawa dalam banyak hal justru sering merugikan posisi mereka sendiri. Apalagi
bila harus menghadapi Sangkuni, politisi culas pembela Kurawa, yang selalu
lihai memanfaatkan setiap momen politik. Pendawa kalah dalam permainan dadu
yang penuh intrik dan rekayasa. Mereka terusir dari Hastinapura sebagai
konsekuensi kalah dalam perjudian nasib.
Jadi, seperti apa pemimpin yang ideal? Mungkin
seperti Bisma? Destrarastra? Pandu? Yudistira si sulung Pendawa, atau Duryudana
si sulung Kurawa? Barangkali kita memang harus mau menerima kenyataan, bahwa sesungguhnya
tidak ada yang namanya pemimpin ideal. Yang ada adalah pemimpin yang realistis.
Yaitu pemimpin yang memiliki kapasitas, integritas, dan kompetensi yang memadai, yang memungkinkan
dirinya mampu mengelola negara dengan setumpuk persoalan kompleks dan dengan selaksa
harapan warga masyarakat yang terus membumbung tinggi.
adrionomatabaru.blogspot.com
Sumber gambar: wikipedia. Dewi Gangga, Bisma, dan Sentanu.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon