TAHU BATAS



Segala sesuatu ada batasnya. Bila batas itu dilanggar pasti ada implikasi yang menyertainya. Batas paling konkret terlihat pada garis teritorial. Bila kita beli tanah kavling maka batas wilayah kepemilikan kita adalah patok-patok yang dipasang di setiap sudutnya.  

Antara halaman rumah dengan jalan umum kita dirikan pembatas pagar, meski kita masih tergoda untuk memajukan pagar dan pintu gerbang melangkahi selokan, supaya mobil bisa masuk di dalam pagar, supaya lebar halaman kita sedikit bisa nambah.

Batas yang eksplisit juga terlihat pada lampu lalu lintas. Bila merah sudah menyala, itulah pertanda bahwa semua kendaraan wajib berhenti. Apalagi pengendara di Surabaya harus lebih patuh karena setiap perempatan dipelototi oleh CCTV. Meski begitu toh kita tergoda untuk melanggarnya, meski dengan alasan yang amat rasional, demi mengejar jam penerbangan, maupun hanya lantara tidak sabar menunggu saja.

Dalam olahraga batas diejahwantahkan dalam rule of the game. Pesepak bola tidak boleh memegang bola, kecuali  kiper. Petinju dilarang menendang, dan penonton tenis lapangan dilarang bersorak dan tepuk tangan sebelum bola jatuh mati.  Ya. segala sesuatu ada aturannya. Bila dilanggar, wasit akan meniup peluitnya.

Batasan dibuat demi keteraturan dan ketertiban. Hukum dibuat agar ada batas yang jelas mana hak mana kewajiban, mana yang boleh dan mana yang dilarang. Syariat hadir sebagai pemandu agar semua amalan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuanNya.

Hari-hari ini, selama Ramadan, kita tengah belajar dan diajari kembali untuk mengenali batas-batas  melalui imsak. Imsak adalah garis demarkasi antara boleh dan tidak boleh. Imsak adalah titik start memulai puasa. Segala yang sebelumnya boleh dilakukan pada detik itu menjadi terlarang dilakukan. Kalau nekad melanggar imsak? Ya batal puasanya.

Banyak batas yang tercipta dan dicipta. Di satu sisi batasan terlihat mengekang hak meskipun di sisi lain justru memberi keadilan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Jurnalis mengenal batas yang disebut deadline (waktu tenggat), sebuah garis mati yang pantang dilewati. Pelari mengenal garis finish yang menjadi penentu antara pemenang dengan pengalah. Polisi memasang “police line” di sekitar tempat teror bom bunuh diri agar warga tidak masuk ke TKP.

Sejarah banyak mencatat betapa melewati batas dapat berakibat buruk. Rezim Soeharto yang ingin kekuasaannya terus-menerus diperpanjang  justru berakhir dengan pelengseran. Koruptor licin yang berkali-kali lolos jerat hukum pada akhirnya toh menemui batas apesnya.

Bahkan keberadaan manusia turun ke muka dunia ini juga bermula dari insiden kasus batas. Sudah diberi koridor:  “pergilah kemana kalian suka, tetapi janganlah mendekati pohon khuldi”, tetapi Adam dan Hawa tergoda untuk melanggarnya.

Batas yang paling zakeligh adalah konstitusi dan hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Suka tidak suka semua warga harus mematuhinya. Namun pada diri warga yang memiliki kesadaran hukum tinggi semua aturan hukum bukanlah pengekangan atas kemerdekaannya, sebab dia menyadari bahwa kebebasan memang harus diatur demi kemaslahatan bersama.

Apalagi jika tumpuannya bukan lagi kesadaran hukum tetapi sudah meningkat kepada kesadaran moral. Maka batasan yang dipegang bukan lagi boleh dan tidak boleh, tetapi pantas ataukah tidak pantas sesuatu itu dilakukan. Makan sepuas-puasnya dan hidup bermewah-mewah jelas diperbolehkan oleh hukum formal asalkan tidak diperoleh dari mencuri. Tapi pantaskah itu dilakukan di tengah lingkungan masyarakat yang masih penuh ketimpangan sosial? Sampai di sini, bukan lagi pasal dan sanksi yang mengendalikan perilaku, melainkan moralitas dan kebaikan hati.

Hari-hari ini kita dicharge untuk mengenali kembali batas-batas akan kepantasan, kepatutan moral, dan batas kewajaran hidup melalui ajaran imsak. Sugeng siyam Ramadhan.

adrionomatabaru.blogspot.com

Previous
Next Post »