BUDAYA TANDING TAHUN BARU


Beberapa hari yang lalu, pada beberapa grup WA yang saya ikuti, muncul ajakan untuk menyepikan malam tahun baru. Imbauan untuk tidak merayakan tahun baru dengan berhura-hura pesta, ajakan untuk tidak keluar rumah, dan sebaiknya mengisi waktu dengan berzikir, tilawah, tauziah, sujud dll.

Saya tidak tahu seberapa efektif gerakan itu. Apakah akan bergema dan diikuti oleh banyak orang ataukah bagai berteriak di padang pasir? Namun demikian, saya tetap mengapresiasi imbauan semacam itu sebagai sebuah budaya tanding (counter culture) terhadap arus budaya mainstream yang begitu kuat mendominasi dewasa ini.

Februari lalu juga begitu, bermunculan ajakan untuk tidak merayakan hari kasih sayang, karena valentine day bukanlah budaya kita. Boleh jadi ajakan itu efektif bagai sebagian orang, sehingga mereka menurut untuk tidak ikut-ikutan saling mengucapkan selamat hari valentine, sementara bagi sebagian lain dianggap angin lalu. Tidak ada hasil survei yang bisa dijadikan pegangan untuk menilainya.

Sementara itu perayaan tahun baru tetap berlangsung meriah di mana-mana. Kemacetan jalan raya, hotel dan restoran full booking, panggung hiburan penuh acara spesial adalah penanda konkret bahwa orang-orang tetap menyambut momen itu dengan gegap gempita.

Melihat begitu kuatnya budaya mainstream yang ada, maka sebagian orang membuat “perlawanan” dengan cara yang lebih soft. Maka di beberapa tempat terlihat ada penyelenggaraan pengajian dengan menghadirkan pembicara kondang atau mengadakan zikir massal menyongsong tahun baru.  Bebeberapa tahun terakhir Emha Ainun Nadjib dan gamelan Kyai Kanjeng terlihat rutin mengisi acara shalawatan bersama di halaman RSAL Dr. Ramelan, Surabaya.

Di kampung, kelompok Karang Taruna dibikin pentas sederhana, kegembiraan mereka diwadahi dan dikoordinasi agar tidak sampai melampau batas dan agar mereka tidak konvoian  di jalanan yang tanpa manfaat.

Cara moderat ini mungkin dipandang lebih realistis karena sudah sulit melarang generasi Islam untuk tidak bergembira pada malam tahun baru, meskipun itu tahun baru Masehi. Sah saja.  

Tidak perlu dipertentangkan mana lebih efektif jurus tandingan atau strategi fleksibel saja. Tetapi bila keduanya sama-sama dapat berjalan, maka masyarakat akan punya banyak pilihan dalam rangka mengisi malam pergantian tahun baru. Mau pesta silakan, nonton kembang api monggo, doa bersama aau baca puisi bergantian juga baik, mengendap di rumah tanpa ngapa-ngapain juga ndak apa-apa.  

Mau merayakan secara profan dengan makan-makan dan niup terompet atau secara lebih kontemplatif dengan merenung dan membikin resolusi juga diperbolehkan. Atau sederhana saja melototi tivi atau pilih mendekur tidur lantaran yakin hari esok yang ditemui tetaplah hari-hari lama dengan setumpuk masalah yang sama.

Menghadapi penetrasi budaya asing itu mirip menghadapi guncangan gempa. “Gempa bumi bisa diatasi dengan dua cara,“ kata Prof. Herman Wahyudi, dosen ITS, saat berbincang soal pondasi rumah. Pertama membuat pondasi dalam dengan memasang tiang pancang yang mampu menahan guncangan gempa sekian skala richter. Cara kedua, membuat pondasi dangkal yang bagus, sehingga ketika gempa datang, dia dapat bergerak fleksibel mengikuti pergerakan gempa, sehingga tetap berdiri hingga gempa pergi.

Kita bisa menghadapi penetrasi budaya asing dengan menyiapkan pondasi dalam yang kuat pada diri generasi kita, berupa iman dan karakter yang kokoh terhadap guncangan budaya. Bisa juga bersikap fleksifel dengan memanfaatkan arus budaya yang ada untuk kepentingan dan kebaikan kita sendiri.

Yang celaka adalah jika tidak melakukan strategi apa-apa, sehingga semua budaya yang masuk ke negeri ini kita lahap mentah-mentah, tanpa saringan, lantaran takut dibilang ketinggalan zaman.

adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi: tribunnews.com


Previous
Next Post »