Ada “2L” yang sulit diubah pada diri seseorang,
yaitu logat dan lidah.
Temanku puluhan tahun tinggal di Jakarta, logat
medok Jawanya masih kentara. Kalau bilang “elu”
atau “gue” tetap saja wagu. Tetanggaku juga begitu, telah
beranak pinak di Sidoarjo, tetapi tetap saja terlihat dealek Bali-nya manakala
sudah bilang “ithu” atau “sepathu”.
Begitu juga lidah (baca: selera). Karena selera
adalah endapan rasa pilihan yang dicecap berulang-ulang. Selera adalah
akumulasi dari kenikmatan, kenangan, dan kesukaan yang mempribadi.
Kita boleh eksplorasi mencicipi banyak makanan
kekinian dari hamburger, fried chichen, spaghetti, hingga pizza. Juga mengunyah steak,
salad, maupun ikan mentah sushi.
Tetapi toh lidah orisinal ndeso kita tetap tak terkikis oleh aneka rasa baru yang gencar menimpa.
Teman saya asli Betawi tetap saja mencari-cari semur
jengkol meski tengah lunch di
restoran besar. Dan saya sendiri masih saja sering kangen dengan rasa sepetnya
rujak ontong (jantung pisang) atau babal (putik buah nangka) berbumbu terasi,
yang dulu kerap kulahap bersama teman sepantaran ketika bocah.
Logat dan selera telah kuat melekat hingga mengkristal
menjadi identitas. Tatkala ketemu teman sedaerah maka segera saja logat kita
terasa normal di telinga. Tatkala ketemu makanan kesukaan, seolah terobati
segala kerinduan sang lidah. Lidah tak suka berpura-pura. Sungguh amat nikmat
menyantap kudapan kesukaan bila dilakukan sepenuh hati, tanpa dibayangi rasa
malu dibilang katrok atau kekhawatiran akan jatuh gengsi.
Di sebuah destinasi wisata, terlihat ada penjual
wedang ronde mangkal di depan toko pusat oleh-oleh. Spontan serombongan teman-teman
guru datang menyerbu. “Ini dia minuman jadul untuk orang zaman old,” kata seseorang dari mereka.
“Ueenak, anget di badan,” kata saya sambil
menyeruput wedang yang mengandung campuran jahe itu. “Kalau minum wedang ronde, dijamin kita kuat
tanding beronde-ronde,” timpal teman lain, entah ambil referensi dari mana.
Ronde adalah minuman penghangat tubuh. Di dalamnya
berisi bola-bola tepung ketan, kolang-kaling, kacang tanah, dan ada potongan
roti tawar. Mangkoknya khas motif kembang disertai alas lepek agar telapak tangan
tidak kepanasan saat menyangganya. Pedagangnya sudah tua, mbah Wandi namanya, wajahnya
mengingatkan kita pada mbah Marijan.
Sebenarnya ronde adalah minuman produk kuliner
asing. Konon dia berasal jauh dari negeri Cina, dengan nama asli Tangyuan. Di sana, tangyuan diirup selagi hangat dalam acara kumpul-kumpul keluarga.
Yang pasti, wedang ronde telah lama dikenal masyarakat Jawa, bahkan sampai
melahirkan sebuah parikan:
Nuruti
rombong, gak dadi ronde.
Nuruti omong,
lambe ndomble. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
colek penikmat kuliner jadul: bunda rossa, ardiana,
lia, thonthowi, kemi, aunur.
Bonus Lampiran:
RESEP MEMBUAT WEDANG RONDE
BAHAN-BAHAN:
-
150 gr tepung ketan
-
1/2 sendok teh garam dapur halus
-
150 ml air panas
-
pewarna makanan secukupnya
-
100 gr gula pasir
-
100 gr kacang tanah goreng
-
air untuk merebus ronde secukupnya.
BAHAN UNTUK KUAH:
-
3 lembar daun jeruk purut (buang tulang daunnya)
-
1 ruas jahe (memarkan)
-
3 batang serai bagian putihnya (memarkan)
-
200 gr gula merah (disisir halus)
-
500 ml air bersih
CARA MEMBUAT:
a. membuat ronde:
1. Campurkan
kacang tanah dengan gula pasir, aduk rata ( untuk bagian isinya).
2. Campurkan
tepung ketan dengan garam kemudian tuang air panas sambil diuleni hingga kalis.
3. Bagi
adonan ronde menjadi beberapa bagian kemudian beri beberapa tetes pewarna
makanan, aduk hingga merata.
4. Bentuk
bulat adonan dan bagian dalamnya diberi isi kacang tanah.
5. Rebus
ronde dalam air mendidih sampai matang
b. membuat kuah:
1. Rebus
gula merah dengan air bersama daun jeruk, jahe, dan batang serai.
2. Tunggu
sampai mendidih sambil diaduk-aduk hingga merata.
3. Sajikan
ronde di dalam mangkuk lalu dituangi kuah gula merah.
4. Wedang
ronde siap dinikmati dalam keadaan hangat.[]
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon