Hari-hari ini, saat berkendara, saya banyak melihat
berderet-deret sapi, juga kambing, di pinggir jalan. Pemandangan khas menjelang
Idul Adha. Lantas apa yang terlintas pada benak saat menatap hewan kurban itu?
Tentu jawabnya macam-macam. Beda kepala, beda pula pendapat. Yang menarik,
apapun persepsi kita, ternyata semua itu mencerminkan siapa kita. Melihat sapi
seolah melihat diri.
Ada orang yang membatin, itu bisnis yang menggiurkan.
Pasti tidak sedikit keuntungan yang dikeruk para blantik. Lalu terbetik ide tahun depan bakal ikut main
dalam perdagangan musiman itu. Agaknya ini buah pikiran “pedagang” tulen. Di
saat orang lain berlomba berkorban, dia mengambil posisi berlomba meraup laba.
Boleh jadi begitu melihat sapi, sebagian individu
yang segera membayang dalam benaknya, sebentar lagi bakal pesta sate gule
tongseng dendeng ragi bersama teman secangkrukan. Nanti sisa dagingnya
digilingkan saja, di simpan untuk pentol
bakso. Kiranya ini sosok penikmat kuliner sejati.
Ada lagi orang menghela nafas sambil berkata dalam
hati hati, “kapan yang saya bisa ikut berkurban? Supaya tidak hanya sebagai
penerima tetapi sesekali sebagai pemberi.”Ini suara hati muslim yang merasa belum
terlimpahi banyak rezeki. Sejauh ini, setiap hari raya kurban datang, dia
merasa masih tergolong dalam kelompok “kurban perasaan.”
Beda lagi dengan pandangan seorang takmir masjid.
Setiap melihat deretan sapi segera teringat problem kepanitiaannya. Sekarang
untuk patungan sapi yang ke-8 masih kurang dua orang? Siapa ya yang bakal
menutupnya? Ini tipe pengurus yang begitu peduli dengan syiar agama.
Sementara ada pula yang berfikir, bagaimana caranya
agar daging yag berlimpah di hari raya kurban bisa dikemas lantas
didistribusikan ke kawasan terpencil yang lebih membutuhkan. Sebuah ide mulia, khas
dari pribadi pemberdaya masyarakat.
Namun sebagian dari kita mungkin melihat sapi
secara biasa-biasa saja. Sebab jauh-jauh hari mereka sudah membeli sapi dan
menyerahkan kepada panitia. Dan itu sudah rutin dilakukan bertahun-tahun. Ini
tipe orang mapan yang dengan sadar meneladani jejak Nabi Ibrahim. Namun ada
juga yang merasa biasa-biasa saja lantaran memang tak begitu peduli dengan
perintah dan larangan.
Tentu saja semua pandangan boleh-boleh saja. Sah
adanya. Yang penting setiap pribadi tidak boleh merasa pandangannya yang paling
benar. Yang satu tidak usah merasa lebih baik dari yang lain. Mereka yang sudah
langganan berkurban tidak perlu merasa lebih sholeh ketimbang yang lain, sebab
sikap takabur dan jumawah dapat menghanguskan seluruh kebaikan yang telah
ditabung bertahun-tahun.
Bagi mereka yang masih profit oriented kiranya juga perlu belajar sesekali memasukkan
kalkulator ke dalam laci terdalam. Agar semua yang dijumpai tidak selalu dikalkulasi berdasar untung-rugi
duniawi. Sedang penikmat kuliner sejati, tak ada salahnya iseng-iseng melakukan
komparasi. Mencoba membandingkan mana yang lebih membawa nikmat: memakan sate
ataukah memberi makan sate kepada orang yang lebih membutuhkan. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
foto: jualansapi.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon