UPACARA ANEKA RASA


Kamis kemarin, upacara tiba-tiba menjadi kata yang amat bermakna. Menjadi peristiwa yang kaya nuansa. Ada upacara yang berkesan sakral, seremonial, formal, karnaval, bahkan ada yang teatrikal. Ya, upacara kemerdekaan RI hadir dalam  aneka cita rasa yang berbeda lantaran penyelenggara dan pemrakarsa juga berbeda.

Padahal biasanya upacara bendera adalah hal biasa-biasa saja. Instansi pemerintahan dan sebagian sekolah menyelenggarakan rutin tanggal 17 setiap bulan. Peserta upacara mengikuti nyaris tanpa greget, bahkan mungkin terasa bagai beban, meski tak sampai mengeluh apalagi melawan.

Tapi upacara HUT Kemerdekaan RI memang beda. Banyak elemen tergerak untuk mengadakan sebagai sebuah inisiatif, kesadaran diri dengan swadaya murni. Di istana, para petinggi negeri mengenakan busana daerah, mengisyaratkan pesan betapa bhinekanya Nusantara kita. Di padang pasir Gunung Bromo, tetuah adat  dan masyarakat menyelenggarakan upacara dengan menunggang kuda. Menggelar acara di tengah terpaan angin berpasir tentu butuh kesungguhan.

Di Pecatu Bali ada upacara berlangsung di sungai dengan meriah. Sementara warga Kejayan Pasuruan menghormati sang merah putih di lahan tambang pasir dalam suasana kesederhanaan. Seusai upacara mereka menyantap tumpeng bareng-bareng. Tak ketinggalan santri madin Randu Pitu Pandaan mengerek bendera tetap dengan busana khasnya: sarung dan kopyah. Tidak sekadar upacara mereka juga menyempurnakannya dengan panjatan doa untuk negara yang dicintainya.

Dari balik jendela rumah mas Sukemi Kemi, di sebuah perumahan kawasan Pondok Cabe Tangsel,  saya menyaksikan pagi-pagi panitia sudah berkeliling naik motor dengan membunyikan sirine megaphone. Ini penanda agar seluruh warga berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara, tak  terkecuali beberapa warga asing yang berdomisili di situ.

Tidak perlu pakaian seragam, yang penting ada unsur merah putihnya. Sesaat kemudian berkumpulah warga berbagai usia dalam balutan pakaian yang berbeda tetapi dominan merah putih. Ada yang bercelana training merah atasan putih, ada pula ABG yang mengenakan T-Shirt lorek-lorek seperti kue lapis merah putih. Ini menjadi gambaran nyata, diperbolehkanannya perbedaan asal masih dalam koridor kebangsaan.

Sesungguhnya upacara adalah aktivitas purba yang telah ada sejak dulu kala. Upacara ritual adat dilakukan untuk membangun hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib agar tercipta keselamatan hidup dan keserasian alam. Di era kerajaan kuno, upacara dilestarikan sebagai upaya penyatuan rakyat dan membangun citra kebesaran imperium. Di zaman sekarang upacara tetap diadakan, dengan berbagai perubahan, demi untuk mempersatukan komitmen, merawat cinta tanah air, dan memperkokoh eksistensi bangsa.

Upacara HUT ke-72 RI ini terasa demikian marak di mana-mana. Muncul hasrat kuat untuk menjaga keutuhan negara sebagaimana tergambar dalam slogan tegas “NKRI harga mati.” Boleh jadi ini sebentuk reaksi,  lantaran akhir-akhir ini kita tengah diguncang ujian perpecahan, gesekan SARA, dan adanya ancaman ideologi alternatif.

Apa jawaban gadis Pecatu saat ditanya reporter tentang kesannya mengikuti upacara di sungai? “Saya senang dan bangga,” jawabnya dengan senyum mengembang. Sebuah jawaban sederhana tapi mengandung dua hal subtansial.  Pertama,  ternyata upacara bisa menjadi aktivitas yang “menyenangkan”. Kedua, menjadi orang indonesia itu bisa sangat “membanggakan.”

Sebagai rakyat, saya juga ikut senang dan bangga menyaksikan para mantan presiden bersedia hadir bersama dalam upacara kemerdekaan di istana, kemarin. Senang menyaksikan Pak SBY dan Ibu Megawati yang sudah lama “jothakan” mau “wawuh” dengan saling berjabat tangan. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com
foto: Dir One, okezone.com, republika.co.id



Previous
Next Post »