BENDERA, YO BEN


Menjelang 17 Agustusan suasana gang-gang dan jalanan kampung mulai meriah. Setiap halaman rumah memasang sang saka merah putih. Rangkaian bendera kecil dipasang  melintang antarrumah, berkibaran ditiup angin kemarau. Ada umbul-umbul warna-warni di mulut gang. Bila malam tiba, lampu hias warna-warni berkerlap-kerlip memarakkan suasana.

Boleh jadi semua ini cuma semacam romantisme ala kampung. Tapi apa salahnya mensyukuri nikmat kemerdekaan, meski dengan gaya ungkap yang bersahaja?  Apapun pendapat  orang, saya menikmati suasana kebersamaan ini. Bisa senyum gembira karena masih merasakan hangatnya ikatan pertalian sebagai satu warga negara.

Tak usahlah bicara tentang konsep nasionalisme dan hakikat kemerdekaan, karena itu terlalu abstraks di benak awam.Yang mereka tahu adalah merawat kesadaran untuk menantiasa hormat kepada jasa para pendahulu. Para pejuang dan pendiri bangsa yang telah berhasil mendirikan bangsa ini. Kini, kita tinggal merayakan, setahun sekali saja, mengapa harus ogah-ogahan menyelenggarakannya.

Terlihat ada beberapa rumah belum terpasang bendera. Kontan Pak Sutikno, Ketua RT kami, dengan geregeten menegur sang pemilik rumah, “La po gak masang gendero iki? Tinggal memperingati saja gak mau.  Kalau gak punya uang untuk beli bendera, sana utang kas erte.” Tentu saja yang ditegur jadi kelincutan, lalu segera bergegas membeli yang diperintahkan ertenya.
   
Bendera memang hanya sebuah lambang, cuma secarik kain warna merah putih. Karena lambang maka dia jadi multitafsir. Bisa dimaknai beda oleh orang-orang yang berbeda. Penghayatan atas simbol amat dipengaruhi dengan wawasan, komitmen, dan pengalaman hidup masing-masing individu.

Saat upacara, para veteran menatap kibaran sang saka dengan pandangan yang jauh menerawang. Di mata mereka barangkali terkenang kembali rentetan peristiwa lama, betapa kemerdekaan ini telah direbut dengan berdarah-darah.

Teman-teman program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Tertinggal, Terluar) membulatkan tekad dengan memasang bendera di lengan kanannya, bersiap berangkat ke pedalaman, demi mendidik tunas-tunas bangsa. Anggota tim paskibraka satu per satu mengecup ujung bendera bangsanya dengan linangan  air mata dalam rangkaian upacara bendera di istana negara.

Setiap atlet yang berhasil meraih gelar juara pada level internasional, pasti akan gemuruh dadanya dan basah matanya, manakala merah putih dikerek paling tinggi di antara bendera negara lain dalam iringan lagu Indonesia Raya yang perkasa. Masihkah engkau merasa bendera adalah benda biasa-biasa saja?

Merobek Bendera

Bendera adalah simbol pemersatu, kibaran cita-cita bersama, pembungkus harga diri, bahkan pertaruhan jiwa. Dulu, arek-arek Suroboyo, nekad menaiki Hotel Orange, memanjat tiang bendera, lalu merobek warna biru pada bendera Belanda, hingga tersisa warna merah putih. Bukankah ini perjuangan merebut lambang? Semacam permainan nan heroik, meski dengan risiko nyawa melayang karena tembakan musuh dari Jalan Tunjungan.

Kini, setelah kemerdekaan kita rebut. Pelan-pelan makna sang saka menjadi memudar. Anak-anak sekolah menghormat bendera dengan mengangkat tangan secara asal-asalan. Di Situbondo, kantor DPD sebuah partai mengibarkan bendera Indonesia secara terbalik. Pesan simbolis apa yang hendak disampaikan kepada khalayak? Sekadar keteledorankah?

Hari-hari ini, benderaku berkibaran meriah di  gang-gang dan jalanan kampung. Sebagai variasi, yang melambai-lambai bukan hanya merah putih, tapi juga kuning, hijau, biru, hingga ungu. Toh semua warga memaklumi. Sebab ini bukan warna politik sedang berebut simpati, bukan pula kibaran panji-panji yang getol menawarkan ideologi alternatif.  

Warna pelangi hanyalah penanda betapa beragamnya kondisi bangsa ini, sungguh heterogen realitas negeri ini. Memang butuh kedewasaan sikap dan toleransi tinggi. Semua warna dihargai, sepanjang masih bersepakat untuk menjunjung sang merah putih.  

adrionomatabaru.blogspot.com
foto: i.ytimg.com, brebes.com



Previous
Next Post »