MENULIS MENGALIR, INI CARANYA (2 Habis)



Memenuhi request sahabat dari Singosari, Utami Ekaningsih (mungkin juga teman fesbuker lainnya), maka Senin sejuk ini saya akan melanjutkan tulisan tentang rahasia menulis mengalir. Kiat itu saya peroleh dari pakar “membaca dan menulis” Bpk Hernowo Hasim yang disampaikan dalam semiloka di Universitas Negeri Surabaya, 13 Agustus lalu.

Pada Kamis kemarin sudah saya utarakan metode menulis bebas untuk melatih kecepatan mengetik dan membebaskan diri dari perasaan-perasaan tertekan pada saat kita akan memulai kegiatan menulis. Teknik berikutnya yang diajarkan di hadapan anggota IGI (IKatan Guru Indonesia) Jatim itu dinamakan teknik Mengikat Makna. Teknik ini terilhami oleh ucapan Imam Ali bin Abi Thalib  r.a. yang mashur itu: “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Peserta semiloka diberi sebuah bacaan berupa artikel pendek melalui layar monitor. Waktu itu disajikan cuplikan opini Rhenald Kasali yang dimuat Kompas dengan judul Orang Pintar Plagiat:

Banyak orang berfikir, para sarjana otomatis bisa menulis. Faktanya, banyak dosen yang mengambil program doktor kesulitan merajut pemikirannya menjadi tulisan yang baik. Hanya dengan mengajar, tidak ada jaminan seorang pendidik bisa menulis. Menulis membutuhkan latihan dan, seperti seorang pemula, ia pasti memulai dengan karya yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung buruk. Namun, sepanjang itu original, patut dihargai. Karya-karya orisinal yang didalami terus-menerus lambat laun akan  menemukan ‘pintu’nya, yaitu jalinan pemikiran yang berkembang…..”

Tugas peserta pelatihan adalah membaca dengan seksama sehingga memahami isi cuplikan artikel itu. Kemudian mereka diminta membuat tulisan di masing-masing laptop selama lima menit. Begitu stopwacht ditekan, semua peserta bergegas mengetik sesuai respon mereka terhadap input yang baru saja dibacanya.

Pak Hernowo meyakini latihan seperti ini dapat membantu kita mengikat makna. Materi bacaan yang barusan kita serap jangan hanya didiamkan di otak. Informasi itu bagaikan binatang buruan, agar tidak lepas kita perlu mengikatnya dengan cara menuliskannya. Dengan cara ini kita tidak menjadi pembaca/konsumen yang pasif tetapi sekaligus menjadi penulis/produsen yang aktif. Kegiatan menulis setelah membaca tulisan orang tersebut juga bisa dinamakan menulis untuk mengkonstruksi.

Anda boleh saja membuat sebuah rangkuman dari teks yang usai Anda baca tadi, sebagaimana lazimnya guru Bahasa Indonesia memberi tugas kepada siswanya di kelas. Tetapi menurut saya, aktivitas menulis untuk mengkonstruksi tidak harus demikian. Sebab kegiatan  merangkum membuat kita menjadi tergoda untuk bolak-balik memelototi ulang materi yang kita baca. Kemudian kita juga cenderung menyalin semuanya ke dalam lembar rangkuman karena merasa teks yang kita baca tersebut penting semua. Itu mah bukan merangkum namanya. Itu menyalin atau menjiplak.

Saya kira  menulis untuk mengikat makna itu dilakukan bebas saja, longgar sesuka kita. Kita dapat membuat  catatan ulang tentang makna yang tersimpan di dalam materi bacaan, tetapi dengan bahasa kita sendiri.  Bisa juga menambahkan gagasan dari pemikiran kita sendiri. Bahkan kita bebas menyanggah jika  memang memiliki pandangan yang berbeda dengan pemikiran penulis artikel/buku yang kita respons.

Latihan mengikat makna seperti ini  menurut Pak Her dapat melatih meningkatkan ketrampilan kita dalam menulis. Latihan ini sangat dia ajurkan bagi Anda yang sangat kepingin memiliki kemampuan menulis artikel atau membuat sebuah buku. Sebab kita dihadapkan kepada teks-teks baru lalu ditantang atau ditrigger untuk menanggapinya.

“Manfaat kedua, sebelum menulis untuk mengkonstruksi, Anda perlu memasukkan sesuatu yang penting dan berharga ke dalam pikiran Anda, baik melalui membaca buku atau lewat mendengar ceramah. Dengan demikian ketrampilan memahami juga ikut meningkat dengan latihan ini,” kata penulis produktif ini. Bila tertarik mengetahui lebih  rinci mengenai teknik menulis mengalir tersebut maka Anda bisa membaca langsung buku Pak Hernowo berjudul Flow di Era Socmed.

Saya setuju metode flow itu. Pelatihan ini sangat cocok diterapkan di dalam kelas. Siswa/mahasiswa dibiasakan membaca dengan cermat kemudian dilatih mengungkapkan responnya dalam bahasanya sendiri. Sekali lagi dengan bahasanya sendiri. Sebab, sebagaimana diungkap  Prof. Rhenald Kasali  tadi, menulis itu butuh latihan. Dan kita harus berani mengungkapkan pikiran orisinal kita, walau pada awalnya masih berupa tulisan biasa-biasa saja.

Di era sosmed saat ini sesungguhnya kita punya wahana bagus untuk  berlatih teknik menulis untuk mengkonstruksi. Apabila ada rekan memasang status di dinding efbenya, seyogyanya kita menanggapinya dengan memberikan catatan tertentu, memberi masukan tambahan, dukungan saling menguatkan gairah menulis, atau sanggahan yang dapat memperkaya wawasan bersama.
Monggo dicoba! (adriono.com)
Sampai jumpa dengan  tulisan lain, tiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah.  Sumber ilustrasi: abangfadli.com.

Previous
Next Post »