MAHASISWA DESA MASUK ISTANA



Pekan kemarin saya berkesempatan mengunjungi beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) di Makassar. “Safari” ini dalam rangka menyiapkan buku tentang potret PTS di wilayah Kopertis IX. Empat kampus di Makassar yang dijadikan sampel adalah Universitas Muslim Makassar, STIFA Makassar,  STMIK Kharisma, dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pembangunan Indonesia (STKIP-PI).

Tentu banyak hal yang layak dicatat. Tapi kali ini saya tertarik menulis STKIP-PI.  Sebuah sekolah tinggi yang amat peduli dengan mahasiswa yang berdaya beli rendah. Kampusnya empat lantai, di Jl. AP. Pettarani 99 B Makassar, cukup bagus. Malah sebentar lagi mereka juga menghuni gedung baru sebagai pengembangan.

Yang unik, meski berlokasi di Makassar, kampus ini ternyata diminati oleh mahasiswa luar pulau,  terutama dari Nusa Tenggara Timur.  “Dari seluruh mahasiswa kami,  sebanyak 3.000 orang  lebih, 90%  berasal dari NTT.  Makanya STKIP-PI  sering diplesetkan jadi  STKIP Plores Indonesia,” kata Dr. Muh. Yunus, M.Pd, Ketua STKIP PI saat kami temui di kantornya, Kamis. Saya sebut kami karena saya hadir  bersama Sukemi dan Son Andries sebagai tim penulis.

Fenomena unik itu terjadi setidaknya karena dua alasan. Pertama, para alumninya, setelah pulang ke desa asal terbukti sukses menjadi orang terpandang. Mereka menjadi guru, menjadi kepala desa, bahkan menjadi  kepala dinas. Tentu realitas konkret  ini menjadi promosi efektif.  Lantas tahun-tahun berikutnya mereka menarik saudara-saudaranya kemari? “Iyeek, betul Pak. Pokoknya untuk jurusang kependidikang mereka pasti kemari. Yang bisa bawa enam mahasiswa baru kami kasih gratis satu,” jawab Pak Yunus dengan  logat Makassarnya yang khas.

Alasan kedua ternyata faktor biaya. Ini kampus relatif murah. SPP-nya satu juta rupiah per semester. Itupun bisa dicicil selama enam bulan. Tidak ada uang gedung. Masuk kuliah awal cukup bayar Rp 200 ribu. Selebihnya boleh dicicil selama enam bulan. “Mereka punya 100 ribu atau 50 ribu kami terima saja cicilan mereka, sesuai kemampuan,” kata Drs. Ahmad Hasyim, M.Si, Pembantu Ketua I menambahkan keterangan.

Terus, bisakah pengelola menutup biaya operasional lembaga pendidikan dengan 110 dosen itu? Terbukti bisa. Apalagi kampus ini ditunjang oleh unit-unit usaha yang lain (rumah sakit dan transportasi) yang berguna untuk pendukung pendanaan.  Komitmen kampus kepada mahasiswa duafa ini ternyata juga mendapat apresiasi dari Pemerintah. STKIP PI beberapa kali mendapat bantuan dan hibah dari Dikti untuk pengembangan laboratorium dan biaya penelitian. Rasio dosen mahasiswa  di sini masih wajar, 1 dibanding 35
.
Mahasiswa STKIP-PI rata-rata berasal dari desa-desa yang tersebar di NTT seperti Flores, Sikka, Manggarai, hingga Atambua. Bahkan ada yang benar-benar berasal dari daerah 3T (tertinggal, terpencil, terluar). Untuk sampai di tempat transportasi awal mereka harus jalan kaki sehari semalam. Selain dari desa mereka ini adalah pejuang sejati. Kebanyakan berangkat dengan kapal laut dengan bekal pas-pasan dan dompet yang tipis. Namun yang pasti di saku mereka tersimpan segenggam tekad kuat dan doa restu orang tua.

Begitu sampai di tanah rantau Makassar mereka harus segera mengerjakan dua pekerjaan besar sekaligus: kuliah dan bekerja agar survive. Mereka bekerja di toko, warung, proyek, juga menjadi asisten rumah tangga di rumah penduduk atau di rumah dosen. “Mahasiswa kita ada di mana-mana. Masuk toko pelayannya bilang, ‘saya mahasiswa Bapak’. Jadi kita tidak boleh main-main. Kalau ke hotel bawa perempuan bisa ketahuan hahaha…,” kata Pak Ketua berkelakar.

Bahkan di STKIP PI ada tiga mahasiswa yang minta dispensasi untuk diperbolehkan tinggal di masjid kampus demi menekan biaya hidup. Sebagai kompensasinya mereka mau menjadi marbot yang menjaga dan merawat kebersihan masjid.  Tidak hanya mengizinkan, pihak kampus ternyata juga memberi mereka uang lelah.

Karena banyak mahasiswa bekerja di pagi hari maka kampus mengakomodasinya dengan cara membuat jadwal kuliah dominan pada siang dan sore hari. Kampus yang membuka jarusan Pendidikan Biologi dan Pendidikan Ekonomi ini juga membuka kelas nonreguler malam hari. Berdasar pengakuan pengelola kampus, umumnya semangat kuliah mahasiswa NTT sangat tinggi. Rata-rata dalam 8 semester sudah dapat lulus. Bila ada mahasiswa yang tercecer, STKIP-PI berbaik hati dengan membebaskan SPP untuk semester 9 dan seterusnya. Pertimbangannya, kuliah mereka tinggal sedikit. Meski mahasiswa Makassar  dikenal suka tawuran, di STKIP PI ini agaknya merupakan perkecualian
.
Momen Bahagia
Tetapi kisah mahasiswa daerah bukan melulu cerita tentang keterbatasan dan perjuangan. Mereka juga punya momen kebahagiaan.  Di kampus ini ada tradisi setiap angkatan wajib mengikuti kegiatan studi banding. Sasaranya: melihat pulau Jawa, khususnya ke ibukota Jakarta. Mereka ke Istana Presiden, ke Monas, pabrik Yakult Sukabumi, museum Geologi Bandung, hingga ke Kebun Raya Bogor. Perjalanan mbolang ini berlangsung 10 hari.

Untuk bisa mengikuti even itu, mahasiswa memang harus menabung ekstrakeras. Tetapi selama ini toh semua angkatan bisa melaksanakan.  Tentu pihak kampus juga harus pandai-pandai menekan anggaran. Menjalin kerja sama dengan biro travel agar dapat tiket promo atau tiket murah. Demikian juga dengan  penginapan dicarikan kategori budget hotel. Untuk urusan makan,  gampang. “Mereka itu yang penting kasih nasi yang banyak. Kemudiang ikangnya dikit-dikit saja, tidak apa.”

Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Bayangkan mahasiswa dari pedalaman memasuki gerbang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Mereka duduk mengenakan sabuk pengaman dan siap mengangkasa. Seolah sebuah ritual tahunan, begitu pesawat take off maka calon guru itupun spontan mengangkat kaki dan tangan seraya berteriak kencang: Yeeahhh!!!! Mereka tergelak-gelak ramai dalam penerbangan perdana.  Untuk sementara abaikan saja penilaian penumpang lain tentang perilaku norak ini. Bukankah kegembiraan layak dirayakan bersama-sama?

Meski tujuannya ke Jakarta, kadang panitia membuat variasi rute tidak langsung terbang ke Jakarta. Mereka turun di  Juanda Sidoarjo. Selanjutnya mencoba merasakan nikmatnya naik kereta besi dari stasiun Gubeng menuju ke Gambir. Juk ijak ijuk ijak ijuk…hatiku gembira.

Jangan dibilang kegiatan seperti ini hanya buang-buang uang. Ini sebuah proses  pembelajaran yang sarat  makna. Calon guru sudah selayaknya punya pengalaman memadai.  Piknik ke tempat-tempat jauh berguna untuk memupuk kepercayaan diri. Mereka akan merasa menjadi pribadi istimewa dibanding orang sekampungnya, karena sudah pernah naik pesawat dan menginjak tanah Jakarta.
Kelak, di saat berdiri di depan kelas di kampung halamannya, mereka pasti mampu membangkitkan mimpi-mimpi siswanya: “Kalau kalian mau berjuang dengan sungguh-sungguh,  kalian pasti bisa pintar dan maju, contohnya saya ini.” (adriono.com).Sampai jumpa di lain tulisan, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah. Sumber ilustrasi: Dokumen STKIP-IP

Previous
Next Post »