SARIP AGUSTUSAN



Menjelang perayaan Agustusan, tetanggaku, utamanya bapak-bapak, punya kegiatan baru. Hampir setiap malam mereka berkumpul. Bersemangat latihan ludruk. Rupanya mereka bakal menampilkan seni teater tradisional Jawa Timur itu pada malam pentas seni HUT ke-71 RI di kampung erte lima nanti.

Tentu saja mereka berlatih sebisanya dengan properti ala kadarnya, tidak seperti awak Bengkel Teater Rendra. Ini cuma ludruk dadakan. Yang dikejar bukanlah estetika, melainkan merayakan keguyuban dan  bergembira dalam kesenian.

Agustus memang bulan yang bagus untuk merasakan kembali hangatnya hidup bertetangga. “Sing penting kampunge rame. Mosok kari memperingati kemerdekaan ae gak gelem,” kata Cak Kaeri yang mandegani pementasan dengan lakon Sarip Tambak Oso ini.
 
Dulu cerita legenda Sarip Tambak Oso itu amat populer di masyarakat. Sebuah kisah tentang kesewenangan penjajah Belanda yang bersekongkol dengan penguasa Jawa. Keluarga Sarip dikibuli pamannya sendiri. Tambak warisan dari kakek Sarip “dikangkangi” sendiri oleh Paman Ridwan. Tapi emboknya Sarip tetap disuruh bayar pajak tanah. Tatkala menunggak pajak, janda tua itu dianiaya oleh Lurah Gedangan yang didukung oleh Kompeni Belanda. Dari situ tersulutlah perlawanan Sarip terhadap kolonialisme.

Hari-hari ini, para tetanggaku itu berlatih adegan Sarip sedang berkelahi dengan Paidi, kusir dokar yang menjadi centeng Paman Ridwan. Di puncak adu jurus silat, Paidi berhasil memukul tengkuk Sarip dengan jagang baceman (tongkat penyangga dokar). Pendekar kulon kali Paidi melangkah jumawa, meninggalkan jasad lawannya yang sudah tak bernyawa.

Tapi, itulah bagian dari adegan yang disukai penonton ludruk. Tergopoh-gopoh embok datang ke TKP lalu mengelus kepala Sarip seraya memanggil-manggil: “Sarip….Sariiip… anakku, tangio, Le. Durung wayahe awakmu mati!”  Gamelan ludruk bertalu-talu mendramatisir adegan itu. Lalu Sarip bergerak bangkit. Kembali waluya jati. Itulah kehebatan Sarip.

Meski dibunuh seribu kali sehari, sepanjang mendengar suara emboknya, dia dapat hidup kembali. Pendekar wetan kali kawasan Sidoarjo ini menjadi sakti mandraguna karena, bersama dengan ibunya, telah memakan lemah abang. Segenggam tanah merah pemberian almarhum ayahnya dari hasil bertapa.
 
Tetapi apa artinya bangkit lagi, bila kemudian terus-menerus tersungkur dipukul oleh kerasnya keadaan? Untunglah Sarip punya andalan: panggilan emboknya. Betapapun terpuruk ia tetap survive. Mungkin ini simbolisasi dari sebuah daya hidup lantaran kedekatan dengan sang ibu dan kemenyatuan dengan Ibu Pertiwi.

Saya merasa betapa masih relevannya cerita ludruk ini dengan keadaan sekarang. Sarip adalah lambang perlawanan rakyat terhadap kekuasaan represif dan kebijakan yang tidak berpihak kepada wong cilik. Kubayangkan lakon ini pasti akan menarik dan kontekstual andaikata digarap oleh dramawan Putu Wijaya, Butet Kertarejasa, atau N. Riantiarno teater Koma.

Tetapi rupanya Sarip zaman sekarang sudah tak sesakti Sarip zaman dulu. Panggilan emboknya tidak selalu terdengar oleh kupingnya. Ada dua kemungkinan. Pertama, ibunya telah disandera penguasa Belanda yang menginginkan nyawa Sarip, sang pembangkang. Kedua, suara ibunya sudah parau atau pita suaranya telah putus atau diputuskan.

Dalam konteks seperti ini Sarip tidak sendirian. Masih banyak sarip-sarip lain, dengan beberapa variasi kasus, mengalami nasib serupa. Tercampak dari tanah miliknya. Mulai dari terkepras pelebaran jalan tol hingga terdongkel tempat huniannya gara-gara pembangunan pusat perbelanjaan, perkebunan, kawasan industri, hingga waduk raksasa. 
    
Ribuan sarip itu harus mampu berjuang sendiri bila menghadapi sengketa tanah, sertifikat ganda, penggusuran, atau kasus lainnya. Tidak usah menunggu-nunggu “suara emboknya” di gedung DPR sana. Tak usah menanti-nanti bantuan penguasa yang ujung-ujungnya cuma “suap” politik belaka.

Ayo Cak Kaeri, terusno maneh latihan ludruke. Semangat. Aku sudah tidak sabar menunggu penampilan konco--konco. (adrionomatabaru.blogspot.com) Sampai jumpa pada tulisan lain, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah. Sumber foto: henrinurcahyo.wordpress.com
Previous
Next Post »