Dulu di pintu-pintu kamar kos-kosan atau asrama
saya sering menemui tulisan imbauan: “Sudahkah Anda sholat?” Hari ini saya
terinspirasi untuk membuat imbauan juga,” Sudahkah Anda membaca cerpen minggu
ini?”
Saya
sudah membacanya tadi pagi di Kompas.
Cerpennya berjudul “Kehidupan di Dasar
Telaga” karya penulis Yogyakarta, S. Prasetyo Utomo. Sebuah kisah muram dan
puitis tentang keluarga korban pembangunan bendungan.
Ya, di sela
kesibukan beneran maupun kelengahan, saya
bersyukur masih sempat membaca karya fiksi. Minimal sepekan sekali. Saya rutin membeli
surat kabar edisi Minggu secara eceran, karena sudah lama stop berlangganan, atas
nama efisiensi. Membeli koran seminggu sekali saja sudah dibully anak sulung saya. “Yiiee… generasi jadul, beli koran,”
katanya sambil mrenges.
Memang minggu pagi masih saya isi dengan “ritual” gaya
lama: membolak-balik lembar koran di teras depan. Saya masih bisa merasakan
sensasi nikmatnya membaca larik-larik teks hard
copy tujuh koloman di atas kertas.Apalagi ditingkah bau
kertas dan aroma tinta cetak yang khas.
Lalu rubrik Cerita Pendek menjadi santapan pertama. Bukan membaca halaman
satu, karena kebanyakan sajian di situ sudah ditayangkan tivi dan berseliweran
di layar dotcom. Sarapan cerpen adalah
kemewahan tersendiri. Saya bukan
sastrawan. Saya cuma penikmat karya sastra, terutama cerpen.
Sebenarnya novel juga suka, tetapi sekarang sudah
tidak betah membaca buku yang tebal-tebal. Alasannya (mengada-ada) mata keburu perih dan tidak punya waktu luang yang teralokasi. Oh
ya, saya juga mencicipi puisi (termasuk geguritan), sekali-sekali. Asal
puisinya “terang” seperti karya Gus Mus, Zawawi, Joko Pinurbo, atau Sapardi
saya bisa mengapresiasi. Tapi kalau sudah bertemu puisi “gelap” ala GM atau Afrizal Malna, otakku
bertekuk lutut, gak nutut.
Maka cerpenlah yang menurutku karya sastra paling crispy. Bergizi sekaligus gurih.
Porsinya juga tidak jumbo sehingga untuk menelannya tidak pakai lama. Cerpen
memberiku asupan yang beda. Bukan informasi faktual tetapi catatan yang justru bisa memberi penyadaran dan penyegaran.
Bukan fakta, bukan hoax, tetapi semacam paparan yang malah memberi sentuhan
kemanusiaan dan mendewasakan. Kalau meminjam ungkapan Cak Nun yang lebih menukik,
“manusia itu belajar tentang
manusia kepada sastra.”
Bila Minggu tak sempat baca cerpen, serasa ada yang
kurang. Anehnya, bila cerpen itu kemudian dimunculkan lewat fesbuk oleh sahabat
grup Sastra Minggu, saya kehilangan
gairah untuk menyantapnya. Bagiku, ibarat wedang kopi, cerpen harus dihirup dari
cangkir yang bernama koran (Ah, betul kata anak sulungku, saya memang bapak
jadul).
Manfaat utama yang kudapati setelah membaca cerpen
adalah saya menikmati kepiawaian para cerpenis
mengungkapkan gagasan dalam bentuk teks dan dalam balutan cerita. Selalu
khas dan orisinal. Setiap penulis pasti punya cara ungkap, sudut pandang,
sikap, dan gaya tutur yang berbeda meski tema yang diangkat boleh jadi sama.
Terus terang saya banyak berguru kepada karya
mereka. Wawasan jadi bertambah dan merasa mendapat tambahan senjata, yang
sangat membantu saya tatkala hendak membikin artikel, laporan survei, maupun
menulis buku nonfiksi. Saya tidak begitu terpukau dengan jalan cerita beserta sisi
dramatisasinya, sebab kehidupan nyata sekarang ini sudah lebih dramatik, lebih
tragik, lebih mencengangkan, bahkan lebih absurd ketimbang karya fiksi buah dari imajinasi liar sekalipun.
Membaca cerpen itu seperti silaturahim rasa dengan
para penulisnya. Saya merasa ketemu dengan Kyai Ahmad Tohari ketika membaca “Tawa
Gadis Padang Sampah”. Lewat persembahan cerita mereka, seperti berjumpa Prof
Budi Darma, Triyanto Triwikromo, Agus Noor, Danarto, atau berbincang dengan sahabat
Joni Ariadinata.
Saya juga merasa sudah akrab kendati belum banyak
sesrawungan dengan cerpenis Jawa Timur, setelah mengunyah karya-karya mereka
yang keren, seperti dengan mbak Wina Bojonegoro, Vika Visnu, Mardi Luhung, M Shoim
Anwar, maupun Beni setia.
Tapi sayangnya setiap minggu tidak selalu tersaji cerpen
yang bagus. Uhf… salah ding, maksudku
tidak selalu tersaji cerpen yang pas dengan seleraku. (Sebab semua cerpen yang
muncul di koran pastilah sudah karya unggul hasil seleksi yang ketat).
Sebagai catatan penutup, saya ingin mengulang
kembali imbauan di awal tadi: “Sudahkah Anda membaca cerpen minggu ini?” Saya
sudah tadi pagi. adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon