Apa yang ada di balik sebuah mainan tradisional? Ternyata sebuah harta
karun pengetahuan. Sebuah metodologi pendidikan anak ciptaan mbah-buyut
kita, para local genius, yang terbukti
tak kalah canggih dibanding dengan model
pembelajaran modern.
Dolanan perorangan seperti kitiran, kekehan (gasing), othok-othok, egrang telah mengisi masa-masa bocah dan diam-diam
turut membentuk karakter dewasa kita. Mainan berkelompok seperti sepak tekong, congklak (dakon), pathil lele (jenthik), gobak sodor, sri
gendem, bek thor, bentengan dll. juga mengajarkan banyak
hal tentang relasi sosial, team work,
hingga kebersamaan.
Kini dolanan itu seakan menemukan
kembali relevansinya. Berbagai temuan modern ikut membuktikan bahwa dolanan made in Nusantara kita ternyata memiliki
landasan edukasi yang kokoh. Sekitar
1980-an muncul teori kecerdasan majemuk (multiple
intelegences) yang dicetuskan Prof Howard Gardner. Teori dari psikolog asal
Harvard Graduate School of Education itu
kini banyak diacu dan diterapkan di sekolah-sekolah favorite
dan elite.
Eloknya, beberapa abad sebelum sang
profesor bule memublikasikan temuan itu, di dalam setiap dolanan
tradisional Indonesia ternyata sudah terkandung kecerdasan majemuk yang dia
maksudkan. Seperti diketahui
Gadner berpendapat, terdapat delapan kecerdasan yang menjadi kapasitas manusia
yaitu kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan
logis-matematis, visual-spasial, kinestetik, musikal, interpersonal,
intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Sementara itu di dalam dolanan anak umumnya terkandung empat
unsur “Wi” yang ternyata gathuk
dengan konsep kecerdasan majemuk. Empat keunggulan dolanan itu dalam
terminologi Jawa disebut dengan wicara,
wiraga, wirama, dan wirasa.
Ambil contoh, dolanan yang diawali dengan tembang: “dempo
ewa ewo ewa hem” atau “ji walang kaji
kukuk beluk dem… dem…” Agak susah menemukan makna kata dalam rangkaian rima
bunyi yang unik itu. Tetapi permainan repetisi bunyi ini sesungguhnya bertujuan
untuk melatih lidah bocah dan artikulasi berbahasa agar cepat bisa berbicara, agar
pandai wicara. Wicara ini mirip dengan kecerdasan linguistik-verbal dalam konsep
kecerdasan majemuk.
Banyak sekali dolanan yang diiringi tembang sederhana
namun gembira seperti Cublek-cublek
suweng, Sluku-sluku bathok, Jamuran, atau Kedhuk-kedhuk uwi. Semua itu adalah metoda mengasah wirama, mengenalkan irama, atau melatih musical intelgences.
Lalu, praktik membuat mainan sendiri dengan benda di sekitar,
permainan engkle yang mengangkat sebelah kaki,
saling sembunyi dan mencari dalam dolanan maling-malingan, atau saling berkejaran tidak lain adalah melatih wiraga, olah tubuh, mengolah ketrampilan
raga. Dalam bahasa Gadner ini disebut dengan kecerdasan kinestetik.
Yang menarik, game tradisional dapat dimainkan oleh semua
usia secara berbarengan tanpa klasifikasi. Lalu bagaimana mengatasi heterogenitas
usia dan besarnya fisik individu dari masing-masing anggota kelompok? Maka muncullah
kearifan lokal yang dinamakan dengan istilah “pemain pupuk bawang” atau “anak bawang”. Mereka adalah anak-anak kecil
(atau anak berkebutuhan khusus) yang boleh terlibat dalam permainan tapi hanya
sebatas penggembira saja. Bagi anak bawang tidak berlaku rule of
the game yang ketat. Jika melakukan kesalahan tidak dikenai sanksi.
Paling-paling diketawai karena
ulahnya menimbulkan kelucuan.
Inilah bagian dari aspek wirasa, kemampuan merasakan. Dolanan tradisional mengajarkan kepada
setiap anak untuk mampu menenggang rasa, berempati terhadap keberagaman,
menerima kekurangan dan kelebihan teman, serta mengakui kekalahan dan
kemenangan sebagai hasil akhir yang harus diterima. Dan ternyata mereka mampu melaksanakannya.
Buktinya, dengan segenap ketimpangan yang ada, permainan mereka tetap
berlangsung seru, dinamis, menguras energi, melibatkan strategi dan taktik, dan
akhirnya semua tergelak-gelak saking senangnya.
Kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan membangun relasi antarindividu
maupun berkaitan dengan kemampuan instropeksi dan memahami diri ini agaknya
sejajar dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal punya Pak Gadner itu.
Akhirnya Wirasa dalam dolanan juga
berarti mengajarkan aspek ruhaniah, etika, dan berketuhanan dalam bahasa yang
sederhana hingga dapat dicerna anak-anak. Aspek spiritual ini yang justru tidak
ada dalam teori kecerdasan modern yang sekuler itu.
Begitulah sebagian harta karun yang berada dalam
permainan tradisional kita. Tentu patut disayangkan jika kemudian para pendidik
dan cikgu tidak begitu peduli dengan metodologi jenius
yang ada di dalam dolanan hanya lantaran tidak mengetahui, tidak mau repot,
atau karena sibuk mengejar target kurikulum dan tugas administratif.
Setahu saya, Kurikulum 2013 cukup mengakomodasi masuknya
unsur permainan (game) di dalam
setiap tahap pembelajaran. Bukankah dolanan tradisional dapat dimanfaatkan
sebagai sarana dan metoda dalam pembelajaran gaya Paikem (pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan)?
Sudah lama saya percaya bahwa dolanan jadul pasti memuat
banyak makna. Makna itu makin terkuak
setelah saya mendapat pencerahan dari penggiat dolanan, Wahyudi Anggoro, dalam
acara Kick Andy MetroTV, 8 Juli lalu. Catatan saya di atas tadi sebagian besar
bertumpu dari pendapatnya.
Yang menarik, pendidikan
formal Pak Wahyudi bukanlah bidang edukasi, tetapi dia sarjana farmasi. Kini Kepala Desa itu aktif membudayakan
kembali dolanan anak dan sukses membangun Kampung Dolanan di Dusun Pandes,
Punggungharjo, Kec. Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Saya jadi penasaran. Kapan-kapan InsyaAllah saya akan
dolan ke tempat itu. Sungguh, permainan tradisional Nusantara dibuat tidak dengan
main-main. (adrionomatabaru.blogspot.com). Sampai jumpa di lain tulisan,
setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah. Sumber ilustrasi:
jogjaicon.blogspot.com
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsbanyak sekali permainan zadul yang sangat kita gemari salah satunya mungkin yang ada pada website ini, namun berbeda halnya dengan permainan modern permainan ini sudah mulai dilupakan.
ReplyZadulQQ
daftar zadulqq
login zadulqq
EmoticonEmoticon