Setiap keluarga punya bahasanya sendiri. Mereka
bahkan punya istilah dan kosa kata khusus yang di kamus manapun tidak tertemui penjelasannya,
kecuali internal mereka sendiri yang tahu. Kelurgaku juga begitu. Kami sekeluarga
tidak menamai alat penuang air minum yang dimuati galon itu sebagai dispenser,
tetapi dengan sebutan “gluguk.”
Anak ragil saya yang menciptakannya. Dia memang
putri saya yang paling sudah suka memunculkan istilah baru. Ketika kecil dia
memerhatikan air di dalam galon yang mengalir tatkala kran dipencet, selalu
mengeluarkan bunyi gluguk, sebagai efek pergerakan oksigen di dalam galon.
Sejak saat itu, saat haus, dia selalu bilang ke ibunya, “Buk, mimik gluguk.” Mulai
saat itu juga tanpa kesepakatan tertulis kami juga menyebutnya gluguk. Bila air
isi ulang sedang habis, saya kerap bilang,”ayo beli gluguk.”
Anda tahu apa nama yang tepat untuk menyebut alat
penyangga obat nyamuk bakar? Alat yang terbuat dari logam seng itu, kayaknya, belum
ada namanya. Lalu anak perempuanku menyebutnya dengan istilah “cuthilan”. Kalau
suatu saat saya mencari sesuatu di sela meja, isteriku bertanya sedang cari
apa? Langsung kutukas pendek, “cari cuthilan.”
Keponakan saya punya istilah lucu lagi. Terhadap
sandal kayu tradisional dia tidak menyebunya sebagai klompen atau bangkiak
melainkan “ketakluk”. Mungkin karena bunyinya yang ketakluk-ketakluk ketika dipakai maka dia lebih nyaman menamai
benda itu dengan label buatannya sendiri.
Bagi Anda yang sudah berumah tangga, pasti akan memiliki
istilah intim masing-masing saat ingin mengajak bercinta pasangan hidupnya.
Bisa berupa istilah bisa pula berupa isyarat raga.
Lalu apa urgensinya, ngomongin hal-hal “sepele” seperti itu? Dari beberapa referensi
psikologi dan pergaulan dengan rekan praktisi ilmu Neuro Linguistic Pragramming (NLP) saya menemukan sebagian jawabannya.
Ternyata hal-hal spesifik dan mempribadi, seperti kosa kata bentukan sendiri tadi,
dapat membangun keakraban dan menguatkan ikatan emosi antaranggota keluarga. Bahasa
dan isyarat bentukan sendiri bisa
berguna untuk pembentukan relasi antarpribadi, sebagai jalinan psikologis dan
magnet kedekatan yang kuat.
Tidak hanya bahasa, setiap keluarga juga punya
gerakan atau cara menyentuh yang spesifik antaranggota keluarga. Bulik saya
suka menyeples pantat anaknya bila
anak itu sedang melucu. Ada juga yang suka menggosok-gosok rambut anaknya,
tatkala si anak berhasil memenangkan sepakbola. Saya sendiri suka menggaruk
ujung jambul anak saya bila hendak memujinya.
Semua gerakan itu memang dilakukan spontan sebagai
ekspresi naluriah belaka. Sehingga kita tidak sampai menyadari dan memahami
betapa semua perilaku itu amat bermanfaat dan dapat dimanfaatkan untuk mencipta
harmoni keluarga bahkan untuk membangun relasi bisnis.
Ini berarti semua tindakan spontan tadi sebetulnya
bisa diciptakan, direncanakan, dimodikasi secara sadar dengan target dan tujuan
yang disadari pula. Artinya semua bisa dilakukan by desain, bukan sekadar iseng dan spontan.
Sentuhan tertentu pada tubuh seseorang, bila
dilakukan secara berulang, dan dalam momen suasana yang sama, akan berpeluang membangun
memori motorik maupun kenangan kuat di dalam benak. Bocah perempuan yang kerap dibelai rambutnya
saat menangis, dia akan merasa damai hatinya. Begitu dewasa, saat menghadapi
masalah keluarga yang berat, usapan sederhana jemari ibunya yang kini sudah
keriput, sudah sangat signifikan mengangkat beban yang tengah menghimpit
hatinya.
Tidak hanya orang tua, tetapi guru, komunikator, leader,
bisnisman, maupun salesman bolehlah
menggunakan kekuatan sentuhan ini sebagai cara untuk mendidik, mengelola
bawahan, dan menaklukkan hati calon pelanggan.
Ciptakan sebuah sentuhan yang khas. Misalnya
tepukan di bahu lawan bicara kita, atau setiap usai bersalaman tangan tidak langsung dilepas tetapi
diputar sehingga membentuk gerakan saling menggenggam yang menyemangatkan.
Tapi mungkin semua jurus itu sudah banyak dipakai
orang, kurang spesifik. Jadi mengapa tidak mencipta gerakan toast dengan tepukan
tangan yang unik, misalnya dengan menepukkan punggung tangan atau saling
mengadu genggaman tinju. Bila hal itu dilakukan secara berulang dan dalam momen
kebersamaan yang sama, maka gerakan tersebut akan menjadi “password” yang kuat untuk
membangun kedekatan emosi
.
Ada seorang sahabat yang suka menusukkan dua
jarinya dengan lembut ke lengan seseorang
ketika berjumpa dengan kawannya. Maka ketika bertahun berpisah, lalu
keduanya bertemu, maka tusukan dua jari itu seolah menjadi pintu masuk yang
pintas untuk menyambung lagi relasi emosi mereka yang lama terputus. Dan pada
detik itu juga keakraban segera tersambung kembali.
Demikian juga dengan keluarga saya. Saya
membayangkan kelak anak-anak saya akan pergi berkeluarga dan sibuk dengan kehidupan kerjanya sendiri. Bila lama
tidak bertemu, lalu mereka menjengukku, saya telah memiliki kata kunci untuk
mengawali keakraban dengan mereka: “ayo kita beli gluguk.” Atau kepada
keponakanku yang bertandang ke rumah segera kusapa: “Hei, gak usah dilepas ketakluknya?”
Tawa mereka pasti berderai karena disentuh memori
lamanya. Boleh jadi mereka tertawa karena telah mewariskan istilah-istilah made in sendiri itu kepada anak-anaknya.
Selamat mencipta bahasa dan isyarat keluarga.
Yakinlah, akan ada manfaatnya.(*)
adrionomatabaru.blogspot.com.
Sumber foto: tersenyumlah.com, hargaikataku.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon