Dalam kultur Jawa, setiap benda yang mewujud hampir
selalu dimaknai, bahkan kadang amat dalam kandungannya. Apa yang lazim disebut dengan
kirata basa menunjukkan hal itu. Kirata basa mencoba memaknai sebuah istilah
yang merupakan singkatan atau akronim dari dua kata maupun lebih. Umpamanya guru
artinya digugu dan ditiru. Garwa maknanya sigaraning nyawa. Demikian juga dengan kata pacul (cangkul).
Alat kerja petani ini ternyata mengandung ajaran luhur. Prof H. Ali Maschan Moesa dalam
pengajian di Ponpes mahasiswa Al Jihad Surabaya Sabtu kemarin menjelaskan, “Pacul
artinya papat sing ucul (empat yang
lepas).” Dengan mengacu pada wejangan Sunan Kalijaga, empat hal yang dimaksud adalah
mata, hidung, lisan, dan telinga. Empat hal ini hendaklah dikuasai agar tidak sampai
lepas kendali.
Pandangan mata yang lepas jelas berbahaya.
Pencurian dan perzinahan berawal dari mata. Hidung tukang mengendus segala macam
bau dan kecurangan serta mengajak berkubang di dalamnya. Mulut yang asal bunyi bisa
mengundang reaksi, bahkan bisa dituding sebagai penista agama. Demikian juga telinga berfungsi memberikan
masukan kepada otak. Bila info yang masuk tidak benar maka seseorang berpeluang
untuk bertindak salah.
Menjalani hidup yang benar pada hakikatnya adalah mengendalikan
empat hal itu. Bagaimana caranya?
Seperti halnya pacul, agar berfungsi, dia harus diberi gagang atau doran. Apa doran? Ini kirata basa lagi. Doran berasal dari ndonga nang Pangeran (berdoa kepada Tuhan). Ada juga yang menafsiri
ojo
adoh saking Pangeran. Agar selamat kita harus senantiasa berpegang
pada doran, selalu ingat dan berdoa
kepada Yang Kuasa.
Petani Jawa umumnya paham benar dengan falsafah
pacul yang sarat makna itu. Tetapi masalahnya
cangkul dulu beda dengan cangkul sekarang. Apalagi bulang-bulan ini Pemerintah
telah mengimpor cangkul dari Cina. Setelah sebelumnya mengimpor daging, beras,
dan garam. Lantas apa pacul dari negeri tirai bambu ini memiliki makna
falsafati lagi bagi petani pribumi? Ataukah sudah tinggal sekadar alat produksi
yang dipakai tanpa muatan arti, selain
produktivitas? Pokoknya kerja kerja kerja.
Masyarakat desa umumnya melakoni hidup dengan
berpegang pada kearifan lokal. Mereka berkhikmad kepada ngelmu urip seperti “sopo sing temen bakal tinemu” (siapa
yang bersungguh-sungguh akan berhasil, man
jadda wa jada) atau “sopo sing nandur
bakal panen” (siapa yang menanam pasti akan panen).
Tapi sayangnya kondisi sekarang sudah berbeda.
Petani yang sudah bekerja sungguh-sungguh ternyata belum juga mendapatkan imbal
hasil yang wajar. Petani yang istiqomah tandur pada akhirnya memang panen.
Tetapi mereka tidak kunjung paham dengan realitas buram seperti ini: setiap
musim tanam mereka mendapati harga pupuk melonjak tinggi, sedang ketika panen
harga gabah selalu anjlok di pasaran.
Agaknya pacul petani kita telah gowang terbentur
kerasnya batu politik dagang, pasar bebas, dan terantuk kebijakan yang kurang
berpihak kepada mereka. Lantas apa makna kehadiran cangkul from Cina bagi nasib
kaum petani? (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sumber foto: pasedahan.blogspot.co.id
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon