Terbetik kabar duka: Prof. Dr. H. Nang Primadi
Tabrani, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB telah berpulang Senin
kemarin. Saya ikut berbela sungkawa,
semoga beliau diparingin husnul khotimah dan diterima amal ibadahnya. Saya pernah wawancara dengan beliau di andung,
orangnya menyenangkan dan penuh daya hidup.
Berikut saya tampilkan kembali cuplikan
perbincangan saya dan pak Syamsul syodiq bersama beliau. Isinya menurutku tetap
relevan, terutama bagi para Cikgu.
GAMBAR ADALAH BAHASA ANAK
Gambar memang bahasa bagi anak. Oleh sebab itu di
manapun di dunia ini anak selalu suka menggambar. Sebelum anak mengenal tulisan
maka bahasa komunikasi, kegembiraan dan keinginannya dia ekspresikan dalam
wujud coretan gambar.
Namun --ini yang menyedihkan-- potensi alami ini
secara berangsur-angsur menjadi terkikis justru setelah anak mengenal bangku
sekolah. Setelah mengenal bahasa tulis anak jadi tak lagi berekspresi lewat
bahasa rupa. Semakin bertambah kelas anak makin enggan menggambar.
Bahkan ketika menginjak sekolah lanjutan anak sudah
memvonis dirinya secara negatif: “saya tidak bakat menggambar.” Ini kenyataan yang patut disayangkan. Berarti
ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan kita, hingga banyak potensi alami
anak jadi termatikan.
Prof. Dr H. Primadi Tabrani, Guru Besar Seni Rupa
ITB, termasuk salah seorang yang amat
menyesalkan kenyataan itu. Beliau amat yakin bahwa setiap anak diberi anugerah
potensi. Sayang anugerah Tuhan itu disepelekan oleh sistem pendidikan yang
salah.
“Anak-anak kita banyak terjajah oleh rezim logika,
dan rezim kata-kata secara bertahun-tahun. Akibatnya potensi anak macet. Bahasa
rupa dan kreativitas anak --juga mahasiwa-- tumpul. Padahal kekuatan anak itu
ada pada imajinasinya,” ujarnya berapi-api.
“Rezim” logika yang begitu menancap membuat semua
guru mengajar menggambar dengan kerangka berfikir yang naturalistis-logis ala
Barat. Anak disuruh menggambar persis dengan contoh aslinya. Kalau menggambar
gedung harus persegi dengan perspektif yang benar seperti layaknya gambaran
arsitektur bangunan. Kalau mewarna daun ya harus hijau, laut harus biru.
Seluruh bidang gambar harus diblok warna. Awas..! Yang rapi, jangan sampai
keluar garis lho.
Padahal bahasa gambar anak sungguh lain. Anak
sesungguhnya tidak ingin menggambar wujud atau sosok suatu benda. Ia tidak
berpretensi menduplikasi objek atau meniru benda-benda alam. Yang digambar anak
itu gerak. Gambar anak adalah gambar bergerak dan hidup. Orangtua jangan heran
kalau melihat anak menggambar ayam yang sama sampai tiga kali. Ini karena dia
ingin menceritakan ayam itu berjalan dari satu tempat ke tempat lain.
“Sesungguhnya anak menggambar bukan untuk keindahan
(seperti manusia dewasa) tetapi untuk bercerita dengan bahasa-rupa karena
bahasa-kata belum dikuasai sepenuhnya. Maka bagi anak yang penting proses
menggambarnya bukan hasil akhirnya,” katanya.
Anak juga tak peduli logika perspektif: bahwa yang
jauh itu kecil, yang dekat itu besar. Baginya yang digambar besar itulah fokus
perhatian utama sedang yang digambar kecil berarti tidak begitu penting
baginya. Maka tak aneh jika ada anak menggambar penari barong, barongnya dibuat
gede sekali sedang penontonnya digambar kecil-kecil.
Anak juga biasa menggambar dengan cara gambar sinar
X. Maksudnya anak bisa saja menggambar rumah dengan meja kursi dan orang makan
yang kelihatan tembus dari luar. Ini sah-sah saja, sebab begitulah kerangka
berfikir anak. Anak tidak berkilah bahwa rumahnya terbuat dari kaca tembus
pandang tetapi dia hanya ingin menceritakan aktivitas dia di dalam rumahnya.
Jadi semua kelihatan dan bisa diceritakan. Seakan penonton diajak bertandang ke
tempat tinggalnya.
Sekali lagi bagi anak gambar adalah bahasa rupa
bukan sekadar peniruan alam. Itulah
sebabnya bila anak sedang larut menggambar pertempuran sudah pasti mulutnya
nerocos menyuarakan dentuman meriam dan serunya pertempuran itu. Badannya
bergerak aktif, sekali-sekali berlari berputar meninggalkan kertas gambarnya
demi untuk mendemostrasikan manuver jet tempur.
Oleh karena itu jangan menilai gambar anak dengan
kacamata orang dewasa, sebab kita telah kehilangan kemampuan untuk “membaca”
bahasa rupa anak. Kalau kita mengajar, sedang kita ‘lupa’ bahasa-rupa anak,
maka kita akan membunuh gairah menggambar mereka serta menghambat perkembangan
kreativitasnya. Hal itu mengurangi ketahanan kita sebagai bangsa. Bangsa yang
tidak kreatif akan tertinggal dalam persaingan di era global ini.
Lalu bagaimana cara yang ‘tepat’ menilai gambar
anak? Sang Profesor punya satu kiat sederhana. Ajaklah anak-anak ke kebun
binatang, lalu minta mereka membuat dua atau tiga gambar. Kemudian minta setiap
anak tadi menyusun gambarnya sendiri dari yang dia anggap paling baik hingga
yang kurang baik.
“Perhatikan dan pelajari, lama-lama kita akan tahu
gambar seperti apa yang dianggap baik dari kacamata anak-anak sendiri.”
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Tulisan ini termuat dalam buku “Sukses Melejitkan
Potensi Anak Didik” terbitan MLC (Mizan Learning Centre) Bandung bekerja sama
dengan SAIM Surabaya.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon