MENJAWAB JOKE GUS DUR

 

Dulu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) punya guyonan tentang acara yang diselenggarakan oleh santri.  Joke itu diungkap kembali oleh seorang narasumber pada seminar bertema budaya pesantren di Yogyakarta, yang saya sempat liput. 

“Gus Dur bilang setiap acara yang diadakan oleh orang santri selalu ditandai dengan tiga hal. Apa itu? Pertama, soundsystemnya mbengung (mendengung, feedback - red). Keduanya, acaranya mesti molor. Ketiga, setelah selesai acaranya, panitia mesti tekor,” katanya disusul derai tawa para peserta seminar. 

Otokritik kritik Presiden RI ke-4 terhadap budaya kaum bersarung itu memang menohok, tapi toh bikin ngakak juga. Bahkan bila mau dicermati, isi gojlokan itu memang subtantif, mewakili tiga dimensi pokok manajemen penyelenggaraan event. 

Tata suara yang mbengung mewakili dimensi keterbatasan dan kegagapan teknologi. Acara yang tidak on time menunjukkan masih suburnya budaya jam karet. Teledor terhadap manajemen waktu (padahal sudah kenal surat al-‘Ashr). Dan panitia yang senantiasa merugi adalah pertanda lemahnya perencanaan dan manajemen finansial. 

Tetapi setelah menyaksikan perhelatan besar, puncak resepsi satu abad Nahdlatul Ulama di GOR SIdoarjo Selasa (7/2), agaknya joke Gus Dur itu secara bertahap mulai bisa disanggah. Bahwa sekarang, santri nadliyin sudah bisa menggelar acara yang spektakuler 24 jam nonstop. Dan sukses. Dihadiri oleh Presiden dan Wapres serta satu juta lebih peserta yang berdatangan dari segala penjuru negeri. 

Acara dibuka tepat pukul 00.00 WIB tet dini hari. Sama persis dengan yang tercantum dalam rundown acara yang sudah saya lihat pdf-nya di grup WA teman-teman Maarif, beberapa hari sebelumnya. Kemudian acara mengalir lancar sesuai agenda yang telah dirancang. Tidak ada lagi penundaan hanya gara-gara menunggu orang penting yang tak kunjung hadir. Apalagi acara ini dihadiri Presiden dan undangan internasional, jadwal mesti akurat menit demi menit. 

Tentang teknologi pertunjukan juga sudah canggih. Panggung raksasa di dalam stadion dan di parkir timur GOR, ditunjang dengan puluhan monitor elektronik besar di titik-titik strategis, memungkinkan sekian banyak pengunjung dapat mengikuti jalannya acara, tanpa harus merangsek ke panggung utama. Sungguh tidak gampang mengatur lautan orang yang menyemut memenuhi jalan-jalan serta ruang terbuka. 

Setelah acara seremoni selesai, segera beredar di youtube dan media sosial sajian cuplikan audio visual yang keren-keren dan membikin mata basah karena bangga dan haru. Kiranya sudah banyak santri muda NU yang expert dalam memanfaatkan teknologi informasi. 

Hal ini agaknya sejalan dengan salah satu harapan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan: “Saya berharap lembaga pendidikan di NU agar mempersiapkan nahdliyin-nadliyin muda yang menguasai iptek terbaru, menguasai teknologi digital yang berkembang pesat, dan mampu menjadi profesional-profesional yang unggul.” 

Memasuki abad kedua, profesionalisme memang sudah menjadi tuntutan zaman. Semua harus bekerja dan mengelola usaha dengan cara-cara yang benar serta menaati prosedur operasional standar yang disepakati bersama. Menguasai manajemen dan mumpuni mengelola ekonomi akan memperkokoh organisasi dan ukhuwah. 

Dengan demikian tak perlu lagi terdengar keluhan rutin panitia pada pascaacara, sebagaimana ditengarai Gus Dur itu, “waduh bandare rugi maneh. Gak papa wis diikhlasna ae. Gusti Allah sugih.  (adrionomatabaru.blogspot.com)

 

 

Previous
Next Post »