NASIONALISME JOKO TINGKIR

 


Memasuki ambang Agustus adalah momen untuk menemukan lagi rasa kebersamaan. Terutama dengan tetangga warga dekat, sekampung, atau seperumahan. Kami menjadi punya alasan lagi untuk berkegiatan bersama, merayakan kegembiraaan menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Menggelar kerja bakti, menghias kampung, memantaskan diri demi  menyukuri nikmat merdeka dari penjajah. 

Apa yang kami lakukan di lingkungan RT 05 perumahan kami sederhana saja. Mengeruk got membersihkan semak di rumah kosong, mengecat tiang berdera beserta umpaknya, menggambari paving, merentang kawat brendrat untuk memasang penjor umbul-umbul aneka warna. 

Tak lupa memasang lampu hias, karena cahaya kerlap-kerlip warna-warni di malam hari adalah perlambang kemeriahan hati, walau mungkin agak norak di mata sebagian orang. Para ibu PKK terampil membikin hiasan lampion daur ulang botol kemasan, lalu menggantungnya di sela lampu. 

Kiranya tidak dibutuhkan ritorika dan narasi-narasi besar tentang makna kebangsaan. Kesetiaan mereka pada negeri sudah sepenuhnya teruji. Bagi orang kampung cinta negeri adalah otomatis dan final. Ditaati semua aturan regulasi meski sesekali disertai gerundelan sendiri. Dan lima tahun sekali mereka rutin mau dimobilisasi, termasuk dikibuli, oleh calon penguasa yang berambisi memburu kursi. 

Dalam kondisi ekomomi yang tidak sedang baik-baik saja, toh mereka masih bisa survive sembari menepis segala keluh kesah. Masih bisa joget bergembira di sela kerja bakti. Padahal para walimurid itu baru saja habis-habisan terkuras dananya demi memintarkan buah hatinya yang mulai memasuki sekolah/kampus baru. Sebagian lagi ada yang keberatan dengan iuran BPJS, tetapi ingin berhenti tidak bisa. 

Betapapun stamina mental dan kewarasan jiwa harus tetap dipertahankan. Untuk menjaga daya hidup tidak perlu harus mengikuti workshop mahal dari motivator ulung atau mendengar tauziah normatif. Lirik lagu campursari ternyata lebih joss dan kontektual dengan suasana hati. 

Lihatlah itu, sambil menggambar mural di paving,  mereka berdendang mengikuti irama rancak Joko Tingkir-nya Happy Asmara:

Joko Tingkir ngombe dawet.

Jo dipikir marahi mumet.

Ngopek jamur nggone Mbah Wage.

Pantang mundur terus nyambut gawe.

Memasuki ambang Agustus adalah momen untuk menemukan kembali perasaan bahwa kita bukanlah sekadar teman, tetangga, atau sanak famili, melainkan pribadi yang terjalin dalam sebuah ikatan besar, senasib sepenaggungan, sebagai satu warga negara Nusantara.   

Nasionalisme dihayati sebagai laku sosial keseharian yang nyata, bukan wacana maupun ritorika. Kampung adalah wilayah kediaman bersama, demikian juga dengan Indonesia. Adalah kewajiban bersama untuk selalu menjaganya dari gangguan dari luar maupun potensi kisruh dari dalam. Caranya antara lain dengan merawat keguyuban. Tak hanya dengan mendirikan pagar di setiap halaman demi proteksi, tapi juga membangun kedekatan dan kepedulian antartetangga, yang justru merupakan pagar sosial yang kokoh untuk menjaga keamanan. 

Maka Agustus menjadi bulan penuh berarti. Ngumpul berativitas tanpa tanpa banyak instruksi. Semua mengambil inisiatif dan lantas mengerjakannya. Siangnya kegembiraan itu dipuncaki dengan lesehan makan bersama. 

Tapi ini baru awalan.  Pekan-pekan berikutnya kemeriahan agustusan akan kian terasa. Ada lomba gembira untuk anak dan remaja. Para bapak ibu juga mulai rasan-rasan bakal menampilkan, setelah tiga tahun prei manggung gara-gara diserimpung pandemi. 

Memasuki Agustus adalah bersuka cita sebagaimana merayakan sebuah ultah.

Spirit optimisme selayaknya dipelihara:

Tuku donat ning Kalimantan.

Tetep semangat nggo masa depan.

(adrionomatabaru.blogspot.com)



 

Previous
Next Post »