MENONTON SAWAH

 

 

Sawah rupanya telah mengalami perluasan makna. Juga berkembang kemanfaatannya. Bukan lagi sekadar wahana menanam padi, tetapi sudah bertambah fungsi. Salah satunya menjadi lahan destinasi. Lalu bermunculanlah resto, saung, café, maupun warung dengan sawah sebagai basis lansekapnya. 

Berdiri tempat-tempat kuliner di pinggir sawah dalam bangunan yang antik, ndeso, hingga yang terkesan tempelan artifial. Pendeknya, mereka berlomba menghadirkan “sorga” buatan untuk menyenangkan kaum urban dan para penikmat makanan. 

Demikian juga halnya dengan aktivitas membajak sawah. Kini bukan lagi sekadar mengolah bumi karena membajak sawah telah dimaknai sebagai atraksi. Lalu buruh tani yang tandur dan dadak matun menjadi obyek pelengkap pemandangan eksotis bagi pengunjung yang sedang santap hidangan di saung. 

Berada di antara hamparan persawahan menghijau, siang-siang kami memasuki Restoran Daipoeng Simpang Blimbingsari di Desa Watukebo, Kec. Blimbingsari. Sekitar lima kiloan dari bandara Banyuwangi.  Lalu mengambil tempat duduk di area terbuka menghadap kolam ikan. Di sini ada saung, arena bermain,  dan tentu spot-spot swafoto. 

Bangunan diberi sentuhan arsitektur Osing, menghadirkan dinding dari kisi-kisi kayu sebagai penahan paparan matahari tapi tetap tertembus semilir angin. Di sisi utara terdapat bemo tua siaga menjadi teman selfie. Dari ruang utama terdengar alunan lagu kendang kempul Banyuwangen. 

Santap makanan sambil menonton sawah adalah kegembiraan yang sebetulnya mengandung ironi. Sebab panorama sawah yang menghadirkan kenyamanan itu pasti menyembunyikan  kisah sedih tentang ketabahan kaum petani. Kami lekoh menikmati gurami asam manis sembari menyaksikan orang banting tulang mengatasi kepahitan hidup. Orang melahap iga bakar sambel cobek sembari menonton punggung-punggung membungkuk terbakar matahari. 

Boleh jadi ini semacam pengalaman psikologis yang agak aneh. Hati diam-diam diliputi rasa senang justru karena menyaksikan kesusahan orang. Rasa superioritas semu sedikit terpuasi, merasa menjadi sukses lantaran ada orang lain yang bekerja lebih sengsara ketimbang kita. 

Setidaknya sawah beserta penggarapnya itu menguak memori lama, bahwa kita juga pernah susah karena terlahir dari rahim desa. Kemudian menjadi lega karena sekarang relatif telah terlewati semuanya. Semakin lama menatap sawah semakin terpantul bayangan wajah sendiri. 

Tetapi toh sawah dan petani bukan seratus persen obyek semata. Sekali tempo mereka juga dapat berbuat sekehendak hatinya. Manakala panen selesai, sawah-sawah itu “absen” menyuguhkan lukisan alam indah gratis bagi pengunjung resto. 

Bahkan sekali tempo petani itu dapat melakukan serangan balik. Membakar jerami hingga asapnya membubung ke mana-mana. Termasuk menyesaki arena surga kuliner tanpa kuasa ditolak. Menyaksikan semua itu mungkin petaninya tertawa lebar sambil berujar: “Saksikanlah, sawah adalah nyawa. Bukan sekadar destinasi wisata. Dan bercocok taman adalah susah payah kami merebut rezeki halal. Bukan sebuah atraksi budaya lokal.”(*) 

(adrionomatabaru.blogspot.com)




 

Previous
Next Post »