OASE


Seperti halnya makan minum, setiap hari saya membaca. Membaca apa saja. Membaca buku, berita, artikel, hingga cerpen. Tapi kebanyakan saya “ngemil” membaca status di laman fesbuk  dan  unggahan teman di grup WA. Tapi sebulan terakhir ini, saya punya tambahan bacaan wajib yang baru. 

Mengikuti cerita bersambung karya maestro Sidhunata, “Anak Bayang Mengayun Bulan” di harian Kompas. Membaca cerbung di halaman koran adalah kesukaan saya sejak remaja. Bangga rasanya bila bisa membaca ceritanya terlebih dahulu sebelum karya itu terbit menjadi buku novel. 

Cuma kini harus berubah cara membacanya. Kudu membiasakan diri membaca larik-larik kata di layar gawai atau laptop. Memang tidak senikmat seperti membaca di lembaran koran, tetapi saya harus beradaptasi dengan perubahan zaman. 

Sekarang ini membaca cerita bersambung boleh jadi menjadi sebuah kemewahan, di tengah kesibukan “kerja” yang menyita waktu. Atau bahkan sejenis pemborosan waktu karena cuma demi  mengikuti alinea demi alinea panjang yang berisi sebuah karangan fiksi. Fiksi yang bukan fakta. Sedangkan setumpuk informasi tentang fakta penting dan kejadian terkini belum terbaca semuanya. 

Beruntung saya tidak merasa demikian. Justru dengan membaca cerita saya mendapatkan oase di tengah gurun gersang. Mendapatkan tetesan air jernih di tengah gelontoran air bah informasi dari gawai kita setiap detik tanpa jeda. 

Membaca Anak Bajang setidaknya mengobati rindu saya pada cerita wayang yang mengisi memori di masa bocah. Ini sebuah cerita klasik bernuansa surialis yang dituturkan dengan gaya mendongeng. Tetapi di tangan Sidhunata, kisah Sukrosono dan Bambang Sumantri itu tidak melulu hadir sebagai kisah tentang ksatria yang mendapat tugas memindahkan taman Sriwedari. Tetapi sebuah karya tulis bermuatan filsafat, letupan pemikiran, percik renungan, dan kebijakan hidup. Saya pun larut di dalamnya. 

Dalam salah satu episode dikisahkan Sukrosono, si raksasa buruk rupa, yang mengembara mencari kakak kembarnya. Di tengah perjalanan dia bertemu aneka kejadian yang ternyata menyimpan pelajaran. Sukrosono ingin membuat perjalanannya menjadi laku darma. Ia tak tahu, perjalanannya itu hendak menuntunnya ke mana. Namun, dalam hati ia berkata: “tidakkah hidup ini sendiri adalah darma? kuturuti saja ke mana hidupku menghendakinya.” 

Sejak itu ia merasa, janganlah ia berjalan dengan meminta-minta, sebab sudah banyaklah yang ia terima. Maka berjalanlah ia dengan keinginan untuk memberi apa yang ia bisa. Di sepanjang jalan dilihatnya pohon-pohon mangga, kelapa, pepaya, durian, dan lain-lainnya. Dari mana pohon-pohon itu bisa berbuah jika bukan dari keinginannya untuk memberi? Ia pun berpikir, ia bisa memberi, walau ia tak mempunyai apa-apa. Tidakkah itu rahasia dari darma? (seri ke-39). 

Dulu ketika masih bujang saya sudah membaca “Anak Bajang Menggiring Angin”. Sekian tahun kemudian, saat ke toko buku Gramedia di salah satu mal di Surabaya, tanpa sengaja bertemu Sindhunata yang menjadi narasumber dalam acara talkshow di sana. Seusai acara, saya basa-basi bertanya kepadanya, “Romo Sindhu, apa tidak ada rencana untuk bikin buku lagi yang kayak Anak Bajang itu?” Beliau tersenyum sambil menggeleng. “Entah ya, Mas. Masih sibuk, mungkin kapan-kapan bisa menulisnya lagi,” jawabnya. Dan sekarang Anak Bajang ternyata hadir lagi menyapa pembacanya. 

Saya suka karya sastra karena menemukan banyak masukan dan kegembiraan darinya. Tetapi saya membaca hanya sebagai penikmat saja, tanpa dibarengi obsesi ingin menjadi sastrawan beneran. Sama seperti saya senang bersenandung tanpa perlu merasa pantas menjadi penyanyi. 

Mungkin saya tergolong dalam pembaca jenis “omnivora”. Pelahap tulisan apa saja, tanpa mengkhususkan diri pada satu genre tulisan saja.  Saya membaca berita tentang Surabaya menjadi proyek pilot kota wisata medis. Mengikuti analisis pengangkatan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Turut mencermati  “tsunami” regulasi yang melanda dunia bisnis jasa konstruksi hingga menyimak uang kripto yang diharamkan MUI Jatim. 

Tetapi toh saya masih menyempatkan diri membaca cerbung dan cerpen. Sebab darinya saya terinspirasi, terhibur, dan tercerahkan.  Selain itu saya bisa mengintip cara kreatif penulis fiksi dalam merangkai kalimat, memilih diksi, mengulur klimaks, hingga menciptakan kiasan yang mengena. 

Sayangnya tidak semua karya fiksi dapat hadir sebagai oase. Sebagian dari karya tersebut memang benar-benar cuma karangan fiktif semata. Bila saya sebagai orang umum saja menyukai bacaan sastra, seyogyanya penulis sastra juga mau membaca tulisan nonfiksi untuk referensi, supaya tulisannya menjadi bergizi. Dengan demikian kita para penikmat fiksi memperoleh banyak asupan batin lagi. (*)

 adrionomatabaru.blogspot.coms

 Sumber gambar: akarasa.com

Previous
Next Post »