KETIKA SMA PEDULI NASIB LULUSANNYA

  

Lembaga SMA tentu berhak bangga manakala mendapati lulusannya menuai prestasi, diterima di perguruan favorit atau menduduki peringkat tertinggi nilai ujiannya. Tetapi lembaga sekolah seyogyanya juga patut peduli dengan nasib dari para lulusan yang tidak melanjutkan studi gara-gara faktor ekonomi. Dan, sedihnya, mereka yang masuk dalam kategori ini justru sangat banyak. Mayoritas.

BPS mencatat, ternyata anak-anak SMA di Jatim  yang tidak melanjutkan kuliah sebanyak 67,84%. Bahkan di sejumlah SMA di daerah persentasinya bisa naik menjadi 70% hingga 80%. Padahal, SMA didirikan untuk menghasilkan lulusan yang siap memasuki jenjang pendidikan tinggi.  Ini jelas beda dengan SMK yang dari awal memang dirancang sebagai sekolah vokasi. Lalu bagaimana dengan para lulusan SMA yang harus terjun bebas ke dunia kerja tanpa bekal kompetensi kerja yang spesifik? 

Perlu ada upaya untuk menekan tingginya pengangguran terdidik sekaligus menaikkan persentasi lulusan SMA yang melanjutkan studi. Beruntung Jawa Timur punya program SMA “Double Track” (DT) yang diinisiasi Dinas Pendidikan Jatim bersama ITS. Sebuah program afirmasi dan pemberdayaan bagi siswa yang berencana tidak melanjutkan kuliah. 

Program DT memakai strategi 3P (pelatihan, produk, dan pasar) sebagai sebuah ekosistem.  Siswa peserta DT dilatih keterampilkan tertentu (tata boga, tata busana, multimedia, fotografi dll.) Secara offline maupun online (klik ruangtraining.net). Tidak sekadar dilatih tapi juga diajak mengembangkan produk/jasa secara nyata. Kemudian didorong aktif memasarkan sehingga benar-benar dapat menghasilkan uang. Mereka difasilitasi lokapasar (marketplace) di ruangdagang.net. Juga pemasaran offline melalui bendera DT Mart. 

Yang menarik, bagi siswa DT yang sudah mampu membuat usaha rintisan akan dibukakan peluang untuk mendapat permodalan dengan pinjaman bergulir. Tidak hanya berhenti di situ. Setelah lulus, alumni DT terus dibina untuk memastikan bahwa mereka benar-benar mampu berwirausaha atau telah mendapat pekerjaan. 

“Kami punya database lengkap dan aktif memantau alumni DT. Menanyakan perkembangan usaha mereka dan membantu mencarikan akses pasar dan permodalan. Yang membanggakan, sebagian dari mereka yang bisnisnya sudah jalan, ternyata akhirnya melanjutkan kuliah. Bekerja mandiri sambil kuliah di kampus terdekat,” kata Dr. Hozairi, S.ST, MT, tim pelaksana DT dari ITS, saat kegiatan workshop administrasi pelaksanaan DT, 21-23 Oktober, di Hotel Fave Surabaya. 

Kiranya ini program komprehensif yang layak dihargai. Di Jawa Timur terdapat 158 SMA/MA yang menjadi pelaksana program double track. Umumnya berada di daerah pinggiran. Selama tiga tahun terakhir telah diikuti 34,5 ribu siswa lebih. Menyebar hampir di semua kabupaten/kota, kecuali Kota Surabaya, Kota Malang, Gresik, dan Sidoarjo. 

Kini program unggulan Dikbud Jatim ini kian menemukan sosoknya. Bahkan ada tanda-tanda dilirik oleh Pemerintah Pusat untuk dijadikan program nasional. “Program DT ini sudah diminati oleh pusat. Kami akan diundang ke Jakarta untuk presentasi. Kalau dinilai bagus, kemungkinan akan dinasionalkan,” kata Dra. Ety Pramesty, M.Si, Kadis PPSMA Dindik Jatim. 

Mendikbud Nadiem Makarim sudah dilapori mengenai DT Jatim  saat ada kunjungan ke kampus ITS, Kamis (21/10). Mas Menteri menunjukkan apresiasinya. Bahkan Jumat kemarin Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud RI, Jumeri, S.TP, M.Si dan Direktur SMA Kemendikbud Dr. Suhartono Arham, M.Si berkenan meninjau SMAN 3 dan 4 Bangkalan untuk melihat dari dekat pelaksanaan DT di lapangan. Dalam kesempatan tersebut Suhartono Arham mengaku, sebelumnya diam-diam dia sudah meninjau ke beberapa pelaksana SMA DT secara informal. 

Drs. M. Zainul Asrori, M.Si, selaku Ketua Pelaksana Program DT mengatakan, sempat mendengar kabar bahwa program SMA DT ini dipelesetan menjadi “SMA Vokasi”. Tentu saja itu tidak benar. Karena keterampilan yang diberikan di SMA DT sifatnya hanya kegiatan ekstrakurikuler yang diperluas. 

“Dulu awalnya sempat ada ide menggunakan istilah dual track. Tetapi kata dual terkesan ada makna dualisme, makanya urung dipakai. Program double track itu seperti kereta api jalur ganda yang berjalan beriringan. Jadi, sasarannya mendorong siswa mampu mencari penghasilan sendiri sehingga dia punya peluang untuk melanjutkan studi. Kalaupun dia tidak kuliah, kita sudah menyiapkan jaring pengaman, sehingga tidak sampai nganggur selepas SMA,” katanya. 

Menurut Asrori, kalau anak-anak lulusan SMA kota bangga karena prestasi akademiknya, maka anak-anak lulusan SMA DT bolehlah bangga karena kemandirian ekonomi yang telah dirintisnya. Ini dua wujud prestasi yang berbeda, tetapi sama-sama membanggakan orang tua dan kita semua. 

Ya, pada akhirnya keberhasilan institusi sekolah tidak hanya terletak pada sebagian kecil lulusannya yang berprestasi dan melesat menjadi orang sukses, tetapi justru terletak pada sebagian besar alumninya yang tampil menjadi manusia produktif dan bermanfaat di masyarakat. 

Sudah saatnya lembaga pendidikan formal memedulikan layanan “purnajual”, seperti halnya bisnis modern yang kini berlomba memberi layanan aftersales terbaiknya kepada konsumennya. Tentu ini analogi yang tidak terlalu pas, karena seolah menyamakan sekolah dengan perusahaan. Tetapi bukankah sekolah merupakan lembaga layanan jasa, yang seyogyanya juga punya tanggung jawab moral untuk memerhatikan nasib dari “produk” hasil olahannya?  (*)

 adrionomatabaru.blogspot.com



 

Previous
Next Post »