JANGAN ADA RALAT DI ANTARA KITA

 


Sebagai penulis (tepatnya: pekerja teks komersial) saya menemui banyak suka duka berkait dengan pekerjaan tulis-menulis. Kaidah bahwa sebuah karya tulis harus dikerjakan secara cermat dan akurat sudah lama saya pahami dan saya terapkan. Toh, sekali tempo terpeleset juga. Sepandai-pandai tupai melompat sekali waktu jatuh juga, mungkin begitu analoginya. 

Kita tahu pada umumnya pembaca merupakan kritikus yang keras. Saat asyik membaca lalu terantuk dua atau tiga huruf saja yang salah ketik, dia langsung bilang, “buku kok tulisannya salah semua!” Bayangkan, baru ketemu beberapa typo saja sudah main generalisasi. Padahal ada puluhan bahkan ratusan lembar buku sudah benar penulisannya. 

Itu baru masalah ejaan. Belum meningkat pada penulisan awalan. Kapan awalan “di” dipisah dan bilamana awalan “di” digandeng dengan kata dasar. Lebih jauh, orang kadang juga mempersoalkan logika kalimat. Begitulah. Tetapi tidak mengapa, diterima saja sebagai risiko profesi. Masih untung dia mau membaca karya kita. Kalau tidak ada lagi yang mau membaca, mampuslah awak. 

Pernah saya punya pengalaman buruk mengenai keteledoran akurasi ini. Suatu kali saya dan tim mendapat pesanan menulis buku panduan salat dari dinas sosial di salah satu kabupaten di Jatim. Buku tersebut nantinya akan dibagikan ke desa-desa untuk gerakan belajar salat bagi orang dewasa.

Karena bukan dari golongan ustaz, kami pun melibatkan kyai lokal dan anggota MUI setempat yang punya kapabilitas untuk membantu dalam hal substansi materi buku. Termasuk juga menjadi model peragaan gerakan tata cara salat, lalu dipotret, untuk nantinya dijadikan ilustrasi buku. 

Semua proses berlangsung lancar. Hingga akhirnya tercetak 4.000 eksemplar rapi yang kami kirim ke pemesan pakai pikap. Inilah saat-saat yang krusial. Meski buku sudah dikoreksi dan di-acc sebelumnya, toh tetap ada kemungkinan terdapat kesalahan. 

Yang saya khawatirkan pun terjadi. Pak Bos berkata agak keras, “Pak, ini kok ada yang salah?” Saya gusar, dan mohon penjelasan pada bagian mana yang dikomplain itu. Ternyata kesalahannya cukup fatal, yaitu pada pokok bahasan tentang bacaan takhiyat. 

Dalam dalam buku tersebut antara lain dijabarkan bahwa pada saat duduk takhiyat awal orang diwajibkan membaca syahadat. Celakanya huruf arab yang tercetak dalam buku itu susunannya ternyata terbalik. Tulisan ashadualla ilahaillallah terpasang setelah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah. Lho, kenapa bisa sungsang begitu? 

Saya agak panik, meski berusaha tampil tenang sambil beberapa meminta maaf kepada beliau. Kami segera merunut sumber kesalahannya. Setelah dicari-cari akhirnya ketemu. Ternyata trouble itu terjadi pada saat layout. 

Kita tahu, pengetikan huruf hijaiyah dimulai dari marjin kanan menuju ke marjin kiri. Ini berkebalikan dengan arah pengetikan huruf latin yang diawali dari pinggir kiri menuju ke kanan.  

Waktu itu petugas layout baru saja selesai mengetik rangkaian kalimat syahadat utuh dalam huruf arab. Bermaksud hendak memenggal kalimat tersebut untuk dijadikan dua baris, maka dia menekan tombol ”enter”. Ternyata yang terjadi adalah penggalan terakhir kalimat syahadat itu justru naik menjadi baris pertama. Sedangkan penggalan awal kalimat malah turun di baris bawah. Itulah pangkal penyebab tercetaknya kalimat syahadat yang sungsang. Ini pengalaman berharga. Ketika fitur huruf arab dan huruf latin bercampur dalam satu komputer, kita perlu waspada pada saat menggunakannya. 

Lalu apa solusi? Seperti lazimnya bila terjadi kesalahan cetak, tim penulis mengusulkan dengan melampirkan lembaran ralat lalu disisipkan di setiap buku. Tapi Pak Pejabat tidak berkenan. Selanjutnya disepakati bentuk ralatnya adalah dengan cara menambal bagian yang salah tersebut dengan secarik kertas baru. Matri aku! 

Cuma gara-gara salah “enter”, kami harus kerja lembur menempeli kertas kalimat syahadat dengan lem secara manual, pada empat ribu buku. Hehehe. (bersambung) 

adriono.ono@gmail.com

gambar: pinterest.com

Previous
Next Post »