DARI TEKS KE VISUAL


Zaman terus berubah. Dan setiap era membawa selera yang berbeda-beda pula. Di bidang literasi,disebut-sebut terjadi kecenderungan bahwa orang-orang zaman sekarang lebih suka melihat pada tampilan visual ketimbang membaca teks.  

“Visual itu perlu,” kata Permadina Kanah Arieska, S.Si, M.Si, pendiri sekolahdata.net, “Karena 90% proses perpindahan informasi ke otak melalui gambar visual. Sejumlah survei menyebut tidak banyak orang yang mau membaca sampai tuntas sebuah tulisan. Orang hanya membaca sekitar 28% dari keseluruhan kata yang tersaji di webpage.” 

Pada kenyataannya  sekarang ini memang banyak orang yang cuma membaca judul berita doang, lantas sudah merasa paham tanpa mencermati isi teks berita. Ada pula jargon lama dunia fotografi yang kerap diulang-ulang yaitu sebuah gambar dapat mewakili seribu kata. Bahkan ada yang bilang, manusia memproses informasi visual 60 ribu kali lebih cepat ketimbang narasi teks. 

Sebagai “manusia teks” saya agak kesal mendengar keunggulan visual yang didengung-dengungkan itu. Saya tidak percaya sepenuhnya. Tetapi menghadapi sebuah fenomena saya mesti membuka mata. Agaknya pergeseran selera memang tengah terjadi. Buktinya, beberapa kali saya mendapat pesanan bikin buku disertai satu catatan begini: “Tolong nanti gambarnya dikasih banyak ya, Pak. Minimal fifty-fiftylah antara gambar dan teks.” 

Beberapa klien minta dibikinkan buku yang memanjakan mata. Kemasannya mirip album foto atau majalah bergambar yang pantas ditaruh di meja. Lantas pembaca dengan santai membuka-buka sambil ngupi-ngupi. Istilah mereka, buku gaya “coffe table book.” 

Sebagai pekerja teks komersial, seyogyanya saya beradaptasi, supaya tidak terdisrupsi.  Secara bertahap mulai memasukkan unsur infografis berupa tabel, diagram, foto, hingga kartun di sela alinea-alinea yang saya tulis. Hasilnya, tampilan buku menjadi terkesan segar, ngepop, dan glowing.  Meskipun kedalaman dan kelengkapan narasi agak terkurangi lantaran harus berbagi jatah halaman dengan gambar-gambar. 

Agar bisa terampil membikin aneka elemen visual, saya berupaya untuk belajar lagi. Kendati dengan agak tergagap. Maklum, saya tergolong penulis era mesin ketik manual, yang kepingin migrasi ke dunia yang penuh digitalisasi. 

Beruntung, sabtu (27/11) kemarin saya berkesempatan ikut workshop menarik tentang Visualisasi Data yang diselenggarakan oleh Sekolah Data bekerja sama dengan Unusa. Visualisasi data adalah representasi grafis dari informasi dan data, mengubah kumpulan data besar dan kecil menjadi visual  sehingga lebih mudah dipahami dan diproses oleh otak manusia. 

Selama delapan jam sebanyak 35 peserta luring dan daring larut berlatih mengolah data angka dan teks narasif menjadi visual yang komunikatif. Kegiatan ini menggunakan aplikasi open sources alias gratisan yaitu aplikasi Data Studio milik Mbah Gugel (datastudio.google.com) dan Tableau (edisi trial).

Dua aplikasi ini menjanjikan banyak keunggulan, ketimbang kita sekadar mengolahnya dengan microsof excel ataupun grafik instan ala microsof word.  Dengan hanya menyiapkan data dalam format excel, kita sudah dapat mengolah menjadi aneka sajian. Bisa berkisah melalui grafik, membuat laporan dengan kontrol filter dan rentang tanggal, hingga menyertakan tautan dan gambar yang dapat diklik untuk katalog dan konten hyperlink lainnya. 

Yang juga membuat saya senang adalah: data teks geografis seperti nama kota, nama pulau, atau nama negara ternyata bila langsung diubah menjadi gambar peta tanpa perlu menggambar secara terpisah lagi. Ini bisa terjadi berkat dukungan Google Maps  yang sudah ngelink di situ. 

Visualisasi data yang disajikan tidak lagi statis, melainkan dinamis. Mirip dasbor mobil, dasbor Data Studio mampu menampilkan data sesuai permintaan. Misalnya kita butuh data penjualan bulan Oktober. Tinggal klik periode Oktober, otamatis semua diagram memunculkan data bulan itu. 

Begitu kita pindah klik ke nama seorang sales, otomatis data langsung berganti dengan menampilkan produktivitas dan omzet penjualan yang dicapai sales tersebut. Jika bos ingin kasih bonus kepada sales teladan, dalam sekejab dia akan mendapatkan nama dan nominatornya. Tidak hanya dinamis, Data Studio dan Tableau juga bersifat interaktif. Bisa langsung diunggah ke situs web dan dibagikan ke medsos. Bisa dipakai presentasi, tanpa perlu bikin power point lagi. 

Ya, teknologi informasi telah memberi banyak kemudahan. Tanpa harus belajar desain grafis kita sudah bisa membuat tampilan data visual dengan cukup memadai. Telah tersedia banyak template pilihan. Tentu saja pada akhirnya kreativitas dan sentuhan seni yang akan menentukan kesempurnaan hasil akhir  dari olahan data visual. 

Akan tetapi menurut saya, fitur-fitur yang ada di dua aplikasi itu sudah cukup untuk menunjang kegiatan membuat buku. Setidaknya demi untuk melayani rekues kastemer kekinian, yang katanya, cenderung menyukai visualisasi ketimbang narasi (meski saya tidak begitu meyakininya, sebab jangan-jangan dari dulunya mereka itu memang gak pernah suka baca buku).

adrionomatabaru.blogspot.com



 

Previous
Next Post »