GUWING, ASUPAN BATIN

  


Setelah lama tinggal di hulu, sekali tempo kita pasti kangen kembali ke udik. Di tengah keriuhan kota, sekali waktu kita rindu untuk jedah sejenak di kedamaian desa. Orang kota melunasi merindukan akan makanan rasa desa dengan cara blusukan berburu  kuliner jadul. 

Lalu bagaimana cara mengobati rasa kangen terhadap makanan batin yang bercita rasa desa? Saya menemukannya dengan membaca karya-karya sastra berbahasa Jawa. Bersyukur, saya tergolong wong pribumi yang masih cukup paham membaca teks berbahasa Jawa. Meskipun untuk berbicara krama inggil saya tetap saja blekak-blekuk ngisin-isini. Kelancaran membaca tersebut karena di saat bocah saya gemar  nunut membaca majalah berbahasa Jawa “Panjebar Semangat” di rumah paklik saya. 

Kalau sedang di perpusda Menur Pumpungan saya masih tergerak mencari-cari buku berbahasa Jawa. Dulu saya sempat berkunjung ke rumah pengarang senior Bapak Pak Suparto Broto (alm) untuk nempil beli novel Omnibus. Membaca habis kumpulan cerkak karya “Dalan Sidhatan” karya Mas Widodo Basuki. Selalu setia maos seratan cerbung Jawa ala Bu Indah Patmawati di fesbuk. 

Lalu kemarin hati saya jadi bungah sekali lantaran mendapat kiriman novel bersampul abang mbranang dari Bapak Bpk Suharmono K. Seorang penulis senior yang dua kali meraih hadiah sastra Rancage dan mendapat penghargaan Sutasoma. Judul novelnya “Guwing”.  Masih gres. Baru dientas dari percetakannya Cak S. Jai. 

Matur nuwun sanget nggih, Pak.  Lemah teles, nedhonrima Pengeran ingkang mbales.   

Novel berbahasa Jawa ini pasti menjadi asupan batin bagi saya yang kangen bacaan dengan basane awake dhewe. Karya sastra daerah selalu memberikan sentuhan yang khas, lebih nges dibaca oleh orang yang memang memiliki bahasa ibu yang sama. 

Rasanya hati tersegarkan lagi bila menemukan istilah-istilah ndesit yang sudah lama tidak terdengar dari percakapan sehari-hari. Umpamanya kata sugih blegendu, cerewete nggudubillah, klambi setlikan (baju terseterika rapi). Betapa senangnya saya membaca kalimat seperti ini:  Dheweke plencing ninggal juragane, senajan momongane kang isih cumlondho nangis montah gulung koming kelayu,  ora dipaelu.” (hlm 6). 

Dari novel ini saya mendapat tambahan kosa kata baru. Bahkan kata “guwing”, yang menjadi judul buku ini, baru kupahami, ternyata artinya sumbing. Mungkin bagi anak milenial guwing malah dikira “going”. 

Saya tidak terlalu kepo dengan jalannya cerita fiksi. Saya manut saya kepada penulis mau ceritanya dipungkasi dengan happy ending atau tokoh-tokohnya dibikin tragis. Saya lebih suka menikmati jalannya cerita yang diantarkan pakai bahasa daerah. Sungguh beda nuansa dan daya sentuhnya tatkala penulis menggambarkan suasana dan konflik tokoh-tokoh dalam bahasa lokal. 

Apalagi novel Guwing ini memakai setting Kota Surabaya. Sehingga saya dapat berimajinasi tentang detail gubuk tempat tinggal tokoh cerita yang berada di pinggir Kali Mas. Saya turut merasakan kegamangan Tinah yang berniat membuang bayinya yang cacat, buah hubungan gelap dengan anak majikan. 

Saya percaya di balik setiap kata tersimpan falsafah. Selalu ada sikap dan pola pikir khas manusia Jawa yang terselip di antara larik-larik teks yang dibikin dalam bahasanya sendiri. Dari situ saya menemukan butir-butir kearifan lokal, seperti penggunaan “rasa” dalam mengatasi masalah, maupun pertimbangan empan papan dalam melakukan sebuah tindakan. 

Maaf saya belum rampung membacanya. Sebab saya memilih membaca secara pelan (slow reading). Berlama-lama menikmati kekayaan vocabularynya, asyik mengunyah paparan dan struktur kalimatnya yang masih “nJowo” banget.      

(adrionomatabaru.blogspot.com)

 


 

 

 

 

 

 

Previous
Next Post »