MENGEMUDI DI TENGAH PANDEMI

 



Dr. Dodo Anondo, MPH bukan sosok baru dalam dunia perumahsakitan. Jejaknya panjang hingga dipercaya sebagai Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Provinsi Jawa Timur. Sejak Desember silam kariernya berlabuh RSIS A Yani, menjadi Direktur Utama. Ini merupakan rumah sakit keenam tempatnya mengabdi. 

Beruntung kemarin, saya dan Pak Sukemi berkesempatan berbincang dengan arek Suroboyo ini.  Kami sempat bertanya mengapa dirinya bersedia menggantikan peran posisi Dirut dr. Samsul Arifin, MARS, yang wafat terpapar Covid-19? 

Dikatakan, awalnya dia diminta Ketua Yarsis, Prof. Moh. Nuh, untuk membantu menangani RSI. “Ya sudahlah karena yang meminta beliau, tidak enak kalau saya nolak. Karena beliau itu baik sekali, kariernya bagus, dan termasuk idola saya. Kalau melihat ada orang seperti itu saya selalu mengikuti. Nah, akhirnya saya mau.” 

Tentu bukan tugas ringan, dr. Dodo dipasrahi mengambil alih kemudi, ketika kondisi pandemi. Apalagi kemudian mulai bermunculan pasien klaster keluarga. Ini agak merepotkan dalam hal pengaturan kamar rawat,  karena klaster keluarga inginnya (dan memang seyogyanya) dirawat dalam satu ruangan.   

Pasti banyak masalah ditemui. Bulan Januari dan Februari 2021 sedang tinggi-tingginya kasus Covid. Sampai RSI kewalahan. Masyarakat juga ramai berebut alat ventilator. Lalu Kemenkes mendesak kepadanya  untuk segera meningkatkan kapasitas tempat tidurnya sebanyak 20 persen. 

“Waktu itu di RSI A Yani yang awalnya hanya ada 40 tempat tidur ternyata mampu menaikkan sampai 82 tempat tidur. Tapi tetap saja tidak cukup. Alhamdulillah Maret-April kondisi pasien mulai menurun. Pasien rata-rata hanya 30 sampai 40 orang. Lalu ada info dari Yayasan bahwa gedung lama RSI akan dibangun dengan ketinggian 12 lantai. Wah ini gayung bersambut,” katanya. 

Setelah delapan bulan di RSI, dr. Dodo mengaku merasakan suasana yang berbeda saat bekerja di RS yang berbasis agama. Di sini pasien dan keluarganya diajak berdoa bersama. Didampingi petugas bimbingan rohani sehingga mereka menjadi nyaman dan punya harapan. 

Walaupun bernafaskan Islam, RSI juga menerima pasien nonmuslim. Tempo hari ada orang yang perlu kremasi. Meninggalnya di luar RS tapi keluarganya menelepon RSI, apa bisa titip jenazah dulu,  untuk menunggu kremasi besok pagi?,  dr. Dodo menjawab, maaf RSI belum punya ruang jenazah yang dilengkapi alat pendingin. 

Tetapi akhirnya toh tetap dibantu. Pukul 10 malam jenazahnya diantar dari rumah duka ke tempat krematorium. “Nah, sekarang pihak krematorium malah mengajak kerja dengan kami. Kalau nanti ada pasien RSI yang perlu dikremasi, dia siap menerima. Bahkan gratis untuk pasien BPJS. Bagi keluarga yang mampu, hanya diminta mengganti biaya kayunya saja. Tak perlu sewa tempat,” katanya. 

Menurutnya, dalam hal kemanusiaan kita membuka kerja sama dengan semua pihak,  tapi prinsip “lakum dinukum waliyadin” tetap dipegang. Harapannya semua ini bermanfaat untuk menjaga kerukunan dan persatuan. Kita tunjukkan bahwa kita tidak egois. 

Dulu ada gagasan untuk memilah pasien yang masuk RSI dengan kategori IGD merah untuk pasien Covid dan IGD hijau untuk pasien nonCovid. Sehingga kekhawatiran masyarakat akan tertular Covid gara-gara berobat ke RS bisa dieleminasi. Bagaimana realisasinya? 

“Ide itu sudah dilaksanakan. Jadi kalau ada pasien datang langsung kita lakukan tes rapid antigen. Ini memang sempat menjadi pro kontra. Padahal tujuan kita dengan tes ini adalah untuk melihat dan memilah. Kalau dia terindikasi positif Covid maka segera kita amankan. Kita masukkan ke jalur IGD merah. Untuk RSI A Yani setelah pasien dinyatakan positif akan diperiksa lagi melalui foto torax. Kalau hasil fotonya mendukung ya kita masukkan jalur merah,” katanya. 

Sedangkan kalau pasien dinyatakan negatif langsung dibawa ke IGD hijau, ditanyakan keluhannya untuk segera ditangani. Ditambahkan, saat ini tempat tidur RSI untuk non-Covid yang kosong memang cukup banyak. Mungkin karena masyarakat takut berobat ke rumah sakit. Takut tertular.  Apalagi sekarang banyak isu jangan-jangan nanti di-Covid-an. “Oleh karena itu orang Dinkes dan Puskesmas perlu gencar mengedukasi masyarakat. Tapi saya juga tidak menyalahkan. Mereka bebannya sudah luar biasa berat,” katanya. (adrionomatabaru.blogspot.com)

 

Previous
Next Post »