SELAMAT JALAN PROF. BUDI



 Usia memang bukan milik kita, semua tahu. Maka dapat dipundhut oleh yang punya, sewaktu-waktu, tanpa harus didahului sakit atau isyarat terlebih dahulu. Tetapi toh saya tetap saja terkejut, dan tidak segera percaya, ketika Selasa kemarin menerima WA dari Pak Bambang Bes. Isinya, Prof. Dr. Budi Prasetyo,  M.Si, Wadek I FISIP Unair tutup usia.

Sedemikian cepatkah? Padahal setahu saya beliau tidak gerah. Bahkan, kabarnya, paginya beliau masih goes bersepeda dan mengingatkan rekan-rekannya agar hidup sehat serta gemar berolahraga.

Awal Syawal kemarin masih menulis komen terhadap status saya di FB tentang “Idul Fitri Dirambati Sepi”. Waktu itu saya menulis tentang kegiatan mudik saya ke desa lantas saya kaitkan dengan ketidaksiapan diri ini menghadapi “mudik” sejati,  yaitu mudik ke hadirat Ilahi.

Beliau kemudian komentar: “Mudik tenan sampeyan mas. Dudu mudik-mudikan. Mohon maaf lahir batin.” Kini saya terhenyak dan disadarkan oleh kenyataan bahwa panjenengan tiba-tiba telah berpulang, lebih dahulu menjalani mudik sejati.

Pak Budi (maaf saya tidak terbiasa memanggil beliau dengan Prof Budi. Bagi saya, panggilan “Pak” terasa lebih takzim dan mempribadi) adalah guru saya. Juga juragan saya. Dari beliau saya belajar banyak mengenai ilmu akademik sekaligus ilmu lapangan. Berguru melalui interaksi informal, obrolan ringan, dan kegiatan bekerja, karena saya bukan mahasiswanya.

Saya hanya seorang anak buah freelance yang sering dimintai tolong menjadi surveyor menggali data untuk keperluan studi penelitian. Berkat Pak Budi saya berkesempatan membolang ke mana-mana. Terakhir, saya dan Nur Faqih bersama tim Unair, dikirim masuk ke tengah pulau Kalimantan, tepatnya ke Kabupaten Mahakam Ulum, untuk penulisan buku mengenai sosialisasi Undang-undang Desa di sana.

Ada satu ilmu lapangan yang tak terlupa. Ini mengenai cara menghadapi pemberi pekerjaan yang rewel. Dulu saya pernah sangat jengkel dengan seorang pejabat yang banyak maunya dan sulit dipahami instruksinya. Saya kewalahan meladeni karena harus melakukan merevisi laporan berkali-kali. Saya uring-uringan dan mutung, tidak bakalan mau bekerja sama lagi dengan pejabat resek itu.

Tetapi Pak Budi tetap tenang dan dingin hati. “Sabar Mas,” ujar beliau menenangkan saya,” Sampeyan titeni ya, kalau ada orang sangat rewel di awal pekerjaan itu biasanya nanti akan menjadi pelanggan kita.”

Ternyata benar, pada tahun-tahun berikutnya kami mendapat order pekerjaan lagi dari orang itu. Ini ilmu lapangan yang mahal. Sekarang, kalau ketemu dengan klien yang rewel, spontan saya terngiang kembali pesan Prof Budi, lalu ambil nafas dalam-dalam dan mengembus sambil membatin, “ini calon pelanggan saya yang baru.”

Pilihan sikap seperti ini ternyata berdampak amat positif. Emosi jadi terkendali, kita dapat melayani orang dengan lebih baik, dan kebanyakan klien itu kemudian benar-benar menjadi mitra kerja yang menguntungkan.

Selamat jalan Pak Budi. Mugi diparingi husnul khotimah dan diterima segala amal ibadahnya. Kami hanya bisa mengantar dan memberi penghormatan terakhir hingga di pemakaman Ketintang Barat. Langit berangsur senja, matahari berjalan lambat turut berduka. Mripat saya ikutan membasah, saat menyaksikan lima buah hati dan isteri panjenengan dengan wajah yang amat sembab berdiri di depan pusara. (adrionomatabaru.blogspot.com)







Previous
Next Post »