EKONOMI DIGITAL DI HUTAN PINUS



 Agaknya tengah terjadi pergeseran arti, bahkan kontradiksi, dalam dunia wisata saat ini.  Jauh-jauh pergi mengunjungi sebuah destinasi, ternyata kita hanya ingin melihat diri sendiri, atau bahkan cuma ingin memperlihatkan diri sendiri.

Kemanapun berrekreasi, sesungguhnya kita cuma memburu spot cantik untuk selfi. Mendaki bukit terjal bukan demi mengenali kearifan lokal, tetapi semata hendak mencari background foto yang ekstrem dan instagramabel. Bahkan kalau mau sedikit cuek, sebenarnya lokasi pengungsi korban bencana juga layak untuk swafoto, lho.

Berdarmawisata  dalam rangka studi lingkungan, mengkaji budaya adat setempat, apalagi men-tadaburi alam demi merasakan kebesaran Ilahi, kiranya sudah tidak “njaman” lagi.  Itu mah kelewat filosofis.

Yang jelas, pergeseran tren ini ditangkap dengan jitu oleh para pengelola objek wisata dan entrepreneur berakal cerdik. Ini contohnya. Sebuah hutan pinus yang di bebukitan Dusun Sendangsari, Desa Terong, Dlingo, Bantul, Yogyakarta direkayasa menjadi tujuan wisata bernama “Pinus Pengger”, Romantic Evening.  Lokasinya sekitar 25 km dari pusat kota Yogya.

Hutan pinus itu pun dikemas menjadi wisata unggulan berbasis selfi.  Sengaja dibuatkan sejumlah spot keren, mulai dari yang alami hingga yang artifisial sekali. Namanyapun dibikin yang kekinian. Lihat, ada jembatan jomblo, gerbang love,  atau sabrang anindha.

Wahana berfoto ria itu terbuat dari rotan yang dipilin hingga membentuk bangunan yang nyeni. Berupa telapak tangan yang terbuka (lalu disebutlah sebagai pancawara), jembatan,  juga bentuk geometris segi tiga (sstt... jangan-jangan simbol illuminati?).

Di sini kondisinya amat mendukung. Background dari semua seni instalasi tadi adalah lansekap kota Yogya di bawah lembah sana. Bila pemotretan dilakukan malam hari makin terlihat keelokannya. Lampu-lampu perkotaan berkerlap-kerlip bagai taburan bintang. Atau kalau pinjam bahasa ungkap sastrawan Umar Kayam, seperti Seribu Kunang-kunang di Manhattan 

Dengan membayar tiket murah rong ewu mangatus, Anda dipersilakan masuk untuk mencari spot foto sesuka hati. Tetapi kalau mau wahana yang agak seru, kita mesti bayar lagi dua ribu rupiah. Tetapi jangan dikira Anda dapat langsung jeprat-jepret foto dengan mudah. Ini era selfi, Cak.  Semua pelancong punya kepentingan yang sama. Jadi Anda kudu sabar antre menunggu giliran narsis.

Lagi pula semua sudut yang layak ekspos, sudah pada dikomersialkan. Di situ sudah ada tim juru foto profesional lengkap dengan pengarah gaya dan seperangkat laptop pengolah gambar. Para maniak selfi tinggal daftarkan nama lantas duduk manis di bangku kayu, menunggu giliran dipanggil menjadi model dadakan.

Usai sesi pemotretan, para model itu segera merubung layar laptop. Operator cekatan mengedit foto dengan menaikturunkan indikator brightness dan contrastnya hingga wajah di foto itu tampak kian ciamik.

“Yang ini diambil, Mas?” tanyanya kepada pemesan dengan tangan yang terus bekerja.
“Iya,” jawab si Mas.
“Terus, yang ini... ini..?,” tanyanya lagi sambil menggeser krusor ke file-file berikutnya. Tampak gambar dua sejoli yang mencoba berpose mesra.
“Kok kayak sedang tengkar ya, kurang mesra,” kritiknya.

Para pengantre tertawa, meski sebenarnya tidak sabar minta segera dilayani. Untung datang solusi dari cewek yang gambarnya terpampang di monitor  itu: “Pokoknya yang ada gambar baju merahnya itu diambil semua.”

Sebanyak 14 file langsung  dikopi paste lalu ditransfer ke smartphone pemesan yang bersangkutan. “Empat belas kali empat. Jadi, lima puluh enam ribu,” kata operator seraya mengembalikan gadget.

Wow, saya pun membatin,  “ini bisnis yang menggiurkan, Bro.” Apalagi areal Pinus Pengger ini buka dari pagi hari hingga malam. Kiranya ekonomi digital tengah merambah ke hutan  ini.  Sekilas murah banget, satu file foto cuman dihargai Rp. 4.000,-. Tapi inilah dahsyatnya bisnis quantity. Dengan foto-foto seeksklusif itu, mana mungkin orang hanya membeli satu atau dua file? Hampir semua kulihat memborong semua  foto yang ada gambar dirinya.  Dapat dipastikan penghasilan bisnis jasa ini pasti bikin hati berbunga-bunga.

Model jasa pemotretan seperti ini setingkat lebih maju dibanding fotografer amatir yang memotret secara candid lalu buru-buru mencetak dalam ukuran 5R, kemudian digelar pinggir bus milik wisatawan yang bersangkutan. Silakan diambil, per lembar Rp. 15 Ribu, pas tak boleh ditawar.

Cara ini juga laris, tetapi pemotret masih bermain spekulasi. Sejumlah foto yang telanjur dicetak, dan ternyata tidak laku, tentu akan mengurangi akumulasi pendapatannya. Beda dengan model jasa foto di Pinus Pengger ini. Mereka hanya menjual softcopy, dengan harga murah pula, tanpa risiko sama sekali.  File yang tidak laku langsung didell dengan sekali pencet keyboard. Benar-benar nol risiko.

Begitulah, hukum ekonomi terus berjalan abadi. Di mana ada permintaan di situ segera tersedia penawaran. Lalu bergeraklah roda ekonomi. Mari kita menikmati saja arus zaman selfi di tengah menguatnya ekonomi digital ini.  Terima saja bila wisata sudah mendangkal maknanya. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com



Previous
Next Post »