MORO (GAK) SENENG


Hidup tidak sesederhana alur cerita kebanyakan sinetron dakwah kita. Ada orang tersesat di jalan maksiat, lalu insaf atau diinsafkan, maka diapun menjadi orang alim dan hidupnya bahagia berkelimpahan harta.

Dalam realitas, menempuh jalan benar dan lurus tidak otomatis diiringi dengan kemudahan. Bahkan boleh jadi justru disertai kesulitan. Saya menemukan hal itu saat mengunjungi kawasan eks lokalisasi Moroseneng di Klakahrejo, Kelurahan Kandangan, Kec. Benowo, Surabaya.

Kawasan prostitusi ini telah ditutup permanen oleh Pemkot Surabaya, sejak 2014 (atau 2011?). Bahkan pembubarannya lebih dahulu dibanding penutupan lokalisasi superbesar Dolly yang mashur itu. Kini media massa pun tak banyak memberitakannya, karena Moroseneng sudah tidak “news” lagi. Tabiat berita memang begitu. Hanya sibuk melompat-lompat dari satu kejadian baru ke kejadian lain. Agak malas menoleh pada apa yang terjadi setelah itu.

Tapi benarkah pascapenutupan semua sudah selesai, dan baik-baik saja?  Bagi para pelaku dan masyarakat di situ, dampak penutupan bisnis esek-esek itu masih terasa hingga sekarang. Banyak bekas wisma, rumah karaoke, cafe, dan arena parkir  di Klakahrejo Lor, masih kosong tak terawat.  Beberapa wisma dibeli oleh SKPD Pemkot Surabaya, tapi dibiarkan begitu saja, lantas halamannya digunakan tetangga kiri kanan untuk parkir kendaraan atau menjemur pakaian.

Warung kopi banyak yang kukut. Sisanya masih bertahan jualan dengan jumlah pembeli yang tentu tidak seramai dulu.”Wis, ajur ekonomine wong kene, Pak,” keluh seorang ibu yang sedang menyapu depan rumahnya. Sepertinya dia curhat.

Polisi dan Satpol PP masih rutin razia di situ, dan sesekali memergoki ada mantan pengelola wisma  yang masih nekad “buka praktik” di situ. Sungguh setelah palu penguasa diketok, masih banyak “pekerjaan rumah” yang musti dilakukan. Mulai dari patroli pemantauan kawasan, penanganan warga terdampak dengan memberi skill baru, hingga membuatkan lapak-lapak baru sebagai sumber penghasilan pengganti.

Untungnya tidak semua orang memasang wajah murung. Masih banyak warga berupaya survive dengan bekal keyakinan, bahwa jalan kebenaran akan membawa keridhaan. Mereka mau bersusah payah memulai hidup dari bawah lagi. Giat mengikuti pelatihan menjahit yang dilaksanakan Dinas P5A Surabaya. Dalam kelompok-kelompok kecil kaum perempuan memproduksi sambel bajak merek Barkla.

Apa arti Barkla? “Itu singkatan dari Berkah Klakahrejo,” kata Pak Sidik warga setempat yang aktif melakukan pendampingan.  Tempat pelatihan dipusatkan di bekas rumah mesum yang kini dirombak Pemkot menjadi “Rumah Kreatif.” Sebuah fasilitas sosial untuk sentra pemberdayaan ekonomi sosial masyarakat setempat.

Remaja Karang Taruna terlihat semangat membuat seni mural di tembok kampung, menyuarakan harapannya:“Eks-lokalisasi masih bisa berkreasi.” Beberapa rumah kosong milik Pemkot dimanfaatkan untuk tempat bimbingan belajar anak-anak pada sore hari.

“Warga di sini sudah mulai bangkit ekonominya. Mereka membuat kampung kreatif, memproduksi  layang-layang, tas manik-manik, juga sambel. Kita buatkan lapak tempat jualan dan event bazar,” kata Pak Lurah Kandangan, Heri Sumargo, SE.

Memang perlu proses dan ketabahan, untuk keluar dari kubangan lembah hitam. Tugas manusia hanyalah ikhtiar dan ikhtiar, sedang hasilnya terserah kepada Sang Maha Pengatur Lakon. Sebab, sekali lagi, hidup bukan seperti kebanyakan sinetron dakwah, di mana endingnya bisa disetel agar pesan moral dapat segera dijejalkan ke benak pemirsa. 

Dalam banyak hal, hidup lebih mirip dengan orang naik roller coaster. Menanjak, meluncur, nyaman sebentar, tahu-tahu menikang-nikung tak karuan. (*)

adrionomatabaru.blogspot.com

# edisi menginthili pak lurah blusukan.



Previous
Next Post »