Jelang mendarat di Palopo, Sulawesi Selatan,
pramugari pesawat Wings menyiarkan
pengumuman: “Pelanggan yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di
Bandara La Galigo, Palopo.…”
Begitu mendengar kata La Galigo, dalam ingatan segera
terbayang sebuah mahakarya sastra Nusantara, yang ironisnya kurang banyak dikenali
publik. Padahal Unesco telah mengakuinya sebagai kitab terpanjang di dunia dan sebagai warisan budaya dunia.
La Galigo atau I La Galigo adalah kitab epik mitologi dari peradaban
Bugis
yang ditulis sekitar abad 13-15. Sayangnya, kini sudah tak ditemukan lagi versi
utuh La Galigo, karena termakan
usia. Tapi bagian yang berhasil diselamatkan sepanjang 6.000 halaman.
Kitab bersajak, yang bercerita tentang asal usul manusia dan kepahlawanan
Sawerigading itu, diduga lebih tua dibanding epos Mahabarata India.
Sebagai adikarya aset bangsa,
sudah selayaknya La Galigo mendapat perhatian serius. Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan telah berupaya melakukannya. Di Makassar telah berdiri museum yang
diberi nama Museum La Galigo. Di tempat ini tersimpan koleksi manuskrip La
Galigo. Harta karun tua itu juga tersimpan di Perpustakaan Leiden di Belanda, Malaysia,
dan di beberapa keluarga Bugis.
Kota Palopo juga layak peduli, sebab salah satu setting cerita dalam kitab itu
adalah Kerajaan Luwu. Sebuah kawasan
yang diakrabi oleh masyarakat Palopo. Bahkan dulu, sebelum terjadi pemekaran
kota, Palopo adalah ibukota Kabupaten Luwu.
Pemerintah Kota Palopo sendiri juga berkeinginan agar La Galigo dikenali kembali oleh
masyarakatnya. Jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh, dikhawatirkan warisan
berharga ini akan punah. Apalagi ditengarai, versi asli La Galigo dalam bahasa Bugis kuno, hanya
bisa dipahami oleh kurang dari 100 orang saja.
Dinas Pendidikan Kota akan memasukkan La Galigo ke dalam mata
pelajaran siswa SD hingga SMA di Palopo sebagai bagian dari muatan lokal
kurikulum. Untuk keperluan itu mereka menggandeng Universitas Cokroaminoto
untuk membuat kajian, menyusun naskah akademik, hingga segenap persiapannya.
“Kami mendesain konsepnya. Tim sudah memilah-milah
topik La Galigo mana yang cocok untuk siswa SD, siswa SMP, dan mana yang untuk
SMA. Kami juga sudah menyusun kisi-kisi dan materi ajarnya” kata Bpk. Dr.
Suaedi, S.Pd, M.Si, Rektor Univ. Cokroaminoto, di ruang kerjanya.
Memang, dengan melalui jalur pendidikan formal, diharapkan
apresiasi generasi muda terhadap sastra Nusantara, khususnya La Galigo, dapat meningkat
secara signifikan dan berkelanjutan.
“Jadi sekarang La Galigo sudah diajarkan di
sekolah-sekolah Palopo sini?” tanya saya.
Pak Rektor tersenyum kecut sembari mengangkat bahu.
“Belum, Pak. Kepala Dinasnya sekarang diganti orang baru. Jadi kami tidak tahu
apakah kerja sama ini dilanjutkan apa tidak. Itulah masalahnya…, ” katanya.
Olala…telolet, di “kampung halamannya” sendiri
saja, kehendak untuk memasyaratkan La Galigo masih belum menemui jalan mudah. Mungkin
nasibnya mirip dengan bandara kecil di kawasan Desa Bua itu. Pramugari tadi menyebut
sebagai bandara La Galigo, tetapi yang terpampang di papan airport masih bertuliskan:
Bandara Udara Bua.
Perhatian kepada La Galigo, masih setengah hati.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
latepost. Foto La galigo: indonesia-heritage-net
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsperlu lebih banyak pengenalan kepada masyarakat tentang kisah la Galigo
Replycara pendaftaran cpns
EmoticonEmoticon