Ada sebuah kegiatan yang --hingga kini-- tidak
pernah bisa kunikmati. Kegiatan itu adalah merayakan Tahun Baru. Mungkin
pengakuan ini terdengar ndeso dan
agak memalukan. Santai saja, saya merasa tidak ada masalah dengan membuka kartu
kepada kalian. Karena, bagiku, sebutan katrok atau keren tidak terlalu ngaruh lagi.
Begitu memalukankah julukan katrok, sehingga harus
dihindari mati-matian? Tidak mengapa dibilang tidak gaul, yang penting saya
masih bisa menggauli (hehe.. maksudku bergaul dengan sesama insan dengan baik
dan beradab).
Tetapi, bukan berarti saya tidak pernah ikut-ikutan
konvoi berbondong-bondong ke Pelabuhan Tanjung Perak lalu mendengar suara unik
klakson kapal dibunyikan di malam tahun baru. Bahkan pernah ikut-ikutan niup
terompet kardus di jalanan hingga gagangnya klomoh
penuh air liur. (Apa ya bahasa Indonesianya klomoh?). Dulu sebagai reporter, saya juga aktif turun meliput
gemelap pesta akhir tahun di hotel & restoran berbintang dengan panggung
eksklusif bertabur artis ibukota.
Tetapi, ah, entah kenapa saya tetap saja merasa
sebagai orang asing, outsider, di
tengah gempita pesta happy new year. Tetap
menjadi gagap dan gagal paham di tengah orang
berjingkrak hura-hura tak kenal lelah. Saya
kerap merasa kehilangan diri persis seperti dalam lirik lagu lama Ebiet G. Ade:
Pada sebuah pesta dansa aku jadi teringat
waktu ibuku di kampung menumbuk padi
sebab musik berdentum seperti lesung ditalu….
Rupanya kegembiraan tidak otomatis dapat diperoleh hanya
dengan mampu membeli tiket konser atau membooking
meja Old and New Party. Kegembiraan
memerlukan referensi dan bekal memori yang memadai. Butuh lingkungan sosial dan
teman pergaulan yang mendukung. Sementara
saya alumni anak desa, tidak punya bekal pengetahuan dan emosi yang cukup
tentang apa dan di mana nikmatnya berpesta ala orang kaya. Saya justru lebih bisa
menikmati karnaval jalanan, defile drumband, perayaan bersih desa, ruwatan, atau
agustusan karena referensiku memang event-event seperti itu.
Seperti biasa, perayaan tahun baru selalu diwarnai
dengan tiupan terompet, toet…toeet…preett… sambil ketawa-ketiwi. Lalu
klimaksnya orang ramai-ramai melakukan hitung mundur (count down): empat, tiga, dua, satuu…yeeahh…… semua orang memekik
histeris. Sebagian merasa estase dan mungkin orgasme. Riuh bertempik sorak, lantas
saling berjabat tangan, bersulang, cipika cipiki, pelukan, dilanjut saling mengucapkan
selamat tahun baru.
Berbareng dengan momentum yang dianggap sakral itu
terdengar letusan petasan dan angkasapun bermandi cahaya warna-warni kembang
api. Cuma bagian entertain ini saja yang sempat menghibur hatiku. Minimal mengobati
rasa rindu masa bocahku kepada keramaian pasar malem di lapangan desa.
Setelah detik-detik puncak pergantian tahun terlewati,
lalu apa yang terjadi? Begitu lampu panggung dipadamkan, yang tersisa hanyalah antiklimaks.
Kesenyapan atau bahkan kehampaan. Esoknya kita kembali memasuki realitas yang
itu-itu lagi. Kembali ketemu atmosfir sosial politik yang sumpek itu lagi, dengan
penampilan aktor-aktornya yang tetap bikin jengah.
Memang banyak orang bertekad membikin resolusi
tahun baru 2017. Tapi saya mau tanya: siapa di antara kita yang akan bersungguh-sungguh
mau menjalani janji terhadap diri sendiri itu?
(adrionomatabaru.blogspot.com). Ilustrasi: modifikasi iebaying.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon