Di sini, di Tana Toraja, hidup dan mati bukanlah
lawan kata. Kematian bersanding dan berbaur dengan kehidupan. Bahkan kematian
menjadi momen utama yang menyita perhatian dan aktivitas kehidupan suku Toraja.
Jenazah keluarga biasa disimpan di dalam rumah hingga beberapa tahun, sambil
menunggu pelaksanaan upacara pemakaman, rambu
solo’, yang memerlukan biaya fantastis.
Sebelum dimakamkan di tebing dan gua-gua, mayat
yang disimpan di rumah itu dianggap belum meninggal. Mereka boleh dikata tergolong
orang sakit, sehingga orang Toraja merawatnya dengan dan memberi makan, meski
secara simbolis.
Boleh jadi ini sebentuk kasih
sayang keluarga yang tak terputus oleh lepasnya nyawa dari raga. “Itu pertanda
cinta kasih orang Toraja kepada sanak
keluarganya. Mereka baku sayang, mau merawat sampai meninggal dunia,” kata Pak
Luther Lawang yang ringan kaki memandu saya, Son Andries, Kiki, dan Sukemi.
“Karena itu orang Toraja jarang yang bercerai,”
kata staf humas Universitas Kristen Toraja itu menambahkan.
“Yang bercerai jarang. Kalau yang selingkuh?”
tanyaku menggoda.
“Ya…ada sih cuma satu.. dua...orang, tapi itu soal
lain…hahaha,” jawabnya.
Menurut pemeluk agama asli suku Toraja, Aluk
Todolo, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah fase dari
perjalanan yang panjang menuju tempat
yang disebut puyo, dunia arwah, tempat berkumpulnya semua
roh. Semacam rumah dengan kebahagiaan abadi, atau katakanlah surga.
Untuk dapat sampai ke puyo, perlu didahului upacara penguburan sesuai
status sosial semasa dia
hidup.
Upacara rambu
solo’ harus dilaksanakan
dengan kesungguhan dan sesuai ajaran
dan tata cara peribadatan aluk, agar jiwa yang bersangkutan tidak tersesat dan dapat
mencapai kebahagiaan abadi.
Pada keluarga bangsawan pesta pemakaman bisa
berlangsung berhari-hari. Ada atraksi adu kerbau, makan bersama, membuat patung
dari kayu nangka, arak-arakan peti jenazah menuju di dinding gunung dan gua di kawasan
Londa, Kec. Kesu’ Malenong, Kec. Rantepao dan kawasan Kete’ Kesu’ Kabupaten
Toraja Utara.
Mereka juga menggelar penyembelihan tedong (kerbau) massal 50 hingga 100
ekor serta puluhan ekor babi. Lalu dagingnya dibagi-bagikan ke masyarakat
sekitar. Berapa harga seekor kerbau? “Satu ekor tedong bonga (kerbau albino) bisa mencapai satu miliar rupiah,”
kata Pak Luther. Jadi, kalkulasi sendiri berapa besar anggaran yang dikeluarkan
untuk satu event itu.
Itulah sebabnya rumpun keluarga yang berduka membutuhkan
tempo untuk bergotong royong mengumpulkan uang dan persiapan pelaksanaan rambu tuka. Anak cucu
yang merantau juga bakal balik ke rumah induk, untuk turut berkontribusi demi menghantar
kesempurnaan perjalanan akhir sang mayat menuju negeri puyo.
Pak Sampe, tukang ojek lampu petromaks yang memandu
kami memasuki gua di Londa, bercerita, seluruh barang yang dimiliki dan dicintai
si mayat juga diikutkan ke pemakaman. “Pakaian, piring kayu, juga emas
perhiasan, diikutnya semua,” katanya sambil menunjuk tulang belulang di dalam
peti.
Meski agama Kristen dan Islam sudah masuk Toraja,
tetapi adat warisan leluhur itu tidak serta merta ditinggalkan. Upacara pemakaman
maupun perkawinan adat tetap berlangsung meski dengan beberapa “modifikasi” di
sana sini. Agaknya telah terjadi proses akulturasi budaya atau mungkin semacam sinkretisme agama.
Begitulah. Budaya Toraja telah menambah wawasanku
tentang makna kematian di tengah kehidupan dan arti kehidupan setelah kematian.
Kurre’ sumanga’, thank you.
Toraja memang maelo,
negeri elok dengan khasanah budaya yang kaya. Rumah tongkonan berdiri megah
ratusan tahun dengan pesona yang justru kian berbinar. Tongkonan ada dua jenis.
Satu berfungsi untuk rumah tinggal, satu lagi untuk lumbung padi. Deretan
tongkonan di Desa Kete’ Kesu’ menjadi destinasi favorit wisatawan lokal maupun
bule.
Kini, ketika banyak keluarga yang merantau mencari
nafkah ke berbagai kota, maka tongkonan lebih berfungsi sebagai wahana penyatu
rumpun keluarga. Setahun sekali, biasanya Desember, mereka mudik pulang
kampung. Mereka baku kumpul, berpesta, dan saling berkabar tentang keadaan
masing-masing. “Bagaimana karabe?”
lantas dijawab dengan suka cita, “Karabe
maelo.”
Di bagian depan tongkonan terpasang deretan tanduk
kerbau yang menjadi penanda strata sosial pemiliknya. Semakin banyak kerbau
yang dikorbankan pada saat upacara pemakaman, berarti semakin tinggi pula kelas
sosial atau tana’ keluarga itu. Yang
tertinggi kasta emas, atau tana’ bulaan. Di bawahnya ada kelas perak atau tana’ bassi, dan seterusnya hingga tana’ kua-kua alias kelas rakyat jelata.
Menurut Pak Luther, ornamen dan hiasan ukir pada
dinding tongkonan pun tidak boleh dibuat sembarangan. Tukang ukirnya akan
bertanya terlebih dulu identitas dan strata sosial budaya calon penghuni rumah.
Sebab beda kelas beda pula ragam hias ukirannya. Setiap ornamen dan warna ukiran
menyiratkan makna tersendiri.
Toraja memang maelo. Bukan lansekap dan budayanya
saja yang oke. Hangat kopinya juga nikmat diseruput lambat-lambat. Hemm…. dari bumi
Toraja, tiada kata sesal yang tertinggal.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon