Rupanya ini merupakan “ritual” Minggu yang terakhir bagi saya. Ya, selama bertahun-tahun, hari Minggu saya isi dengan aktivitas yang agak berbau “klangenan” yaitu membaca koran Kompas edisi Minggu. Saya membeli secara eceran, demi alasan efisiensi.
Minggu ini adalah edisi terakhir setelah hadir sejak 1978, sehingga mulai 2026 besok sudah tidak ada lagi suguhan minggu versi print. Bagi yang berminat dipersilakan pindah ke edisi digital. Padahal untuk saya, generasi baby boomer, tidak bisa begitu saja pindah medium.
Duduk santai, membuka-buka koran, terirup bau tinta cetak, membaca sambil ngemil adalah “sesuatu” banget bagi saya. Itulah satu-satunya “ritual” yang tersisa sebagai mantan wartawan koran sore. Padahal dulu setiap pagi, minimal tiga koran pagi saya baca secara scanning, sebelum turun liputan lapangan.
Kan bisa beli koran lain? Juga tidak semudah itu. Coba tanyakan kepada perokok berat, bisakah dia segera pindah merek dalam sekejap?
Tanpa Kompas Minggu, jujurly saya kehilangan beberapa hal. Tidak bisa lagi menyimak esai-esai bernas tulisan Bre Redana, Jean Couteau, Allisa Wahid, dan Radhar Panca Dahana, di rubrik Udar Rasa. Juga kehilangan humor satire yang muncul lewat komik strip “Timun” dan “Drama Pak Nono”. “Panji Koming” juga -- terutama saat masih digambar oleh Pak Dwi Koen.
Saya termasuk penggemar berat rubrik Cerita Pendek Kompas. Ini menjadi selingan bergizi setelah saban hari kita dipaksa algoritma medsos untuk membaca gelontoran info acak mulai dari bencana Aceh, Madas, hingga Dangdut Academy Indosiar yang heboh itu. (Kabarnya, rubrik cerpen dan TTS bakal digeser ke Kompas edisi akhir pekan).
Ya begitulah. Hidup memang perubahan.
Saya semakin tersadarkan bahwa kini era media cetak benar-benar memasuki senjakala.
Lalu para pembaca jadul harus kerasan dengan habit baru: membaca teks di gawai
dan scrool-scrool pakai jari sampai bosan. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email

EmoticonEmoticon