Masih perlukah belajar menggambar manual, jika dengan sekali prompt sudah tersaji gambar bagus, hanya dalam hitungan detik? Pertanyaan lanjutan yang lebih substantif adalah: “masih prospekkah menekuni keterampilan menggambar manual untuk tumpuan hidup, jika semua mulai didisrupsi oleh “skill” generate AI yang makin hari makin “sempurna”?
Kegelisahan seperti itu setidaknya saya tangkap dalam webinar NgideYuk: Menggambar di Era AI dan Kreativitas Manusia Tak Tergantikan, Jumat (19/12) malam. Acara daring diikuti 300-an lebih peserta, yang umumnya merupakan pegiat seni rupa.
Seorang peserta dari Yogya, yang berprofesi sebagai pembuat logo, mengaku nyata-nyata telah menjadi korban AI. Sejak maraknya penggunaan AI, orderan bikin logo UMKM jadi merosot. Dia mengeluh, “Dulu lewat TikTok saya rata-rata sebulan dapat tujuh sampai delapan orderan. Sekarang cuma dapat satu atau dua.”
Beng Rahardian, seorang ilustrator, komikus, karikaturis, dan dosen seni rupa IKJ, tidak menampik kegamangan tersebut. Dia bilang, maraknya penggunaan AI juga menjadi perbincangan hangat di kalangan orang-orang industri kreatif.
Yang jelas, kini ilustrasi menjadi “mainan” semua orang, bukan cuma monopoli para ilutrator saja. Asal jago ngeprompt, jadilah karya. “AI sudah mengubah skema kerja dunia. AI sudah hadir, tidak bisa ditolak. Yang penting, tempatkan AI sebagai alat atau tool, bukan justru AI memperalat kita,” katanya saat menjadi narasumber di webinar tersebut.
Menurutnya, sesempurna-sempura karya artificial intelligences, itu hanyalah hasil “generative”. Penggeneralisasian dengan cara merangkum dari semua data yang tersedia. AI kerjanya hanya membuat sesuatu, bukan berkreasi.
Sedangkan karya buatan manusia
selalu “personal”, mirip sidik jari yang tidak sama pada setiap orang. Maka Beng
Rahardian berpesan, “munculkanlah dirimu” dalam setiap karya kreatifmu. Jadilah
yang khas, dengan cara meningkatkan kompetensi yang tidak dapat dilakukan AI.
Bukan bermaksud menghibur diri, dia mengajak kita untuk tetap optimistis dalam menyikapi keadaan.
”Masih ada kok pihak-pihak yang meminta gambar buatan tangan, yang memang hasilnya lebih humanis. Penerbit Gramedia sampai sekarang masih komitmen, tetap memilih human untuk pembuatan cover buku-bukunya. Kecuali untuk keperluan promo-promo kecil, mereka pakai AI karena butuh kecepatan,” kata pemenang Kosasih Award kategori komik cerita terbaik tahun 2007 dan 2014 itu.
Sejarah menunjukkan saat teknologi tercipta, peradaban juga tercipta. Dulu ketika muncul teknologi televisi, banyak yang mengira koran dan radio bakal mati. Tetapi ternyata dugaan itu tidak sepenuhnya benar, meski harus diakui jumlah media cetak dan audio menjadi berkurang. Dari analogi itu, terlihat bahwa konten (informasi/berita) tidak mati, yang mati adalah mediumnya.
Oleh karena itu Beng berpandangan bahwa produk AI yang dapat dibuat dengan cepat dan massif akan membuat harganya menjadi murah. Sedangkan karya manusia dibuat untuk memenuhi “need” sehingga harganya akan tetap mahal. “Memang kolamnya akan mengecil, tetapi ikannya bisa lebih besar.”
Jadi, seorang illustrator sebaiknya perlu pakai AI atau tidak? Dijawab, itu soal pilihan. Jangan ikut arus tetapi juga jangan lambat arus. Main sewajarnya sesuai kapasitas diri.
“Saya menyarankan, pakailah AI untuk kegiatan awal seperti mencari ide, mengumpulkan bahan dan data. Tetapi untuk final jangan pakai AI,” kata komikus yang karyanya rutin muncul di Koran Tempo (minggu) dan Koran Sindo itu.
Prinsipnya, jangan mencari “kesempurnaan”
hasil, tetapi carilah personalisasi, karena karya seni itu menyangkut rasa. Juga
sering-sering personal branding, munculkan karya, agar cepat dikenal publik.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email



EmoticonEmoticon