Fragmen Suroboyoan

  

Surabaya punya cara menarik untuk menyosialisasikan kesetaraan gender. Yaitu dengan menggelar Lomba Fragmen Gaya Suroboyoan. Acara yang diinisaisi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya ini berlangsung di BG Junction Mall, Kamis kemarin. 

Sebanyak 31 kelompok, yang mewakili seluruh kecamatan yang ada di Surabaya, berupaya tampil optimal dengan mempersembahkan drama pendek berdurasi 10 menitan. Karena pesertanya banyak, lomba berlangsung sejak pukul 11.00 sampai lewat Isyak. 

Berbagai fragmen ditampilkan dengan aneka topik keseharian. Tetapi tema besarnya adalah tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Termasuk mengenai  bullying dan kaum difabel. 

Kecamatan Wonokromo mengusung kisah tentang anak perempuan yang baru saja lulus SMA langsung akan dinikahkan. Ayahnya berpendapat anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Grup dari Kec. Karangpilang mengulik soal pernikahan dini dikaitkan dengan aspek kesehatan. Seorang pemain yang memerankan sosok tim penggerak PKK, menasihati seorang bapak setengah tua:

“Tak kandani yo, Pak. Pernikahan dini iku bahaya, berisiko tinggi. Nanti bayi yang lahir bisa stunting.”

“Opo, ontang-anting? Mosok bayi diontang-antingno?” tanya sang bapak hingga mengundang tawa penonton.

Adegan yang disajikan mengalir cair, umumnya bergaya Ludrukan. Guyonan khas Suroboyoan dan sentilan yang terlontar mengundang tawa walau kadang nylekit. Beberapa dialog yang agak sarkas juga mewarnai panggung. Ya,  memang seperti itu percakapan wong kampung Surabaya. Contohnya, ada suami penganggur yang mendapati istrinya ngomel terus, dirinya langsung menukas: “Kaet isuk wong wedok kok ngoceh ae, kok ngecace ae cangkeme.” 

Saya senang menyaksikan penampilan aktor aktris amatir siang itu. Tidak perlu menuntut akting sempurna dari mereka. Partisipasinya untuk ikut lomba saja sudah layak diapresiasi. Saya membayangkan mereka pasti ribet mempersiapkan  diri mulai dari menulis naskah, latihan berhari-hari, hingga menyiapkan kostum dan “krentilan” properti panggung. 

Dengan proses persiapan seperti itu, saya yakin pemahaman mereka tentang problem gender pasti lebih merasuk dibanding bila mereka hanya disuruh mendengarkan ceramah narasumber akademisi --yang biasanya sangat teoritis dan banyak istilah asingnya.  Salut, Rek !!!

(adrionomatabaru.blogspot.com)

 

 

Previous
Next Post »