TENTANG LULUSAN SMK

 

Dari awal SMK didirikan untuk menyiapkan lulusan terampil agar segera terserap dunia kerja. Pendidikan vokasi dijadikan andalan strategis untuk menjawab lonjakan jumlah penduduk usia muda produktif.  Namun kenyataan tidak selalu sejalan dengan perencanaan. 

Data statistik masih menunjukkan angka-angka yang suram. Yang memprihatinkan adalah ternyata penyumbang tertinggi tingkat pengangguran terbuka (TPT) justru dari lulusan SMK. Tentu ini ironi dengan jargon yang didengungkan, “SMK Bisa!” 

Dr. Dwi Astutik, S.Ag.M.Si, dari Dewan Pendidikan Jatim, dalam Sarasehan Pendidikan 2021 pada Kamis kemarin di Hotel Fave Sidoarjo, memaparkan sejumlah data TPT berdasar jenjang pendidikan. Mengacu laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2021, TPT lulusan SMK menduduki peringkat tertinggi sebesar 11,45%. Sedang TPT lulusan SMA sebesar 8,55%. Merebaknya pandemi Covid-19 diakui turut memperburuk keadaan.  

Angka-angka pengangguran keluaran BPS itu sempat menjadi pembahasan hangat dalam sarasehan yang diselenggarakan Dewan Pendidikan dan Dindik Jatim itu. Dipertanyakan lagi mengenai parameter serta definisi operasional dari kata “menganggur” dan “bekerja”. Sebab, boleh jadi seorang alumnus SMK sudah bekerja tetapi karena bekerja mandiri dan di sektor informal sehingga oleh statistik dia belum masuk dalam kategori sudah bekerja. Ada kemungkinan alumnus tersebut ketika disurvei BPS melaporkan dirinya masih menganggur, karena malu mengakui pekerjaannya yang masih serabutan dan tidak menentu penghasilannya. 

Prof. Warsono, M.S., guru besar dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), mengajak kita mencermati  ulang definisi tentang bekerja. Apalagi di revolusi digital saat ini di mana jenis pekerjaan semakin variatif dan cenderung berbeda dari kategorisasi pekerjaan konvensional selama ini. Anak-anak milenial semakin cenderung memilih menjadi pekerja lepas (freelance) dan enggan terikat bekerja di kantor atau pabrik. 

“Kalau ternyata mereka sudah mampu menghidupi diri sendiri, mendapatkan penghasilan dengan bekerja freelance, berdagang online, apa mereka tidak bisa disebut sudah bekerja?” katanya mempertanyakan. 

Terlepas dari soal parameter bekerja tersebut, suara pengusaha selaku pengguna (user) alumnus SMK kiranya juga perlu didengar. Dr. Siswanto, Direktur Utama PT Indo Bismar Grup dan anggota Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), memberikan beberapa pandangannya. 

Berdasar amatannya memang masih dijumpai ketidaksesuaian lulusan SMK dengan kebutuhan dunia kerja. Oleh karena itu perlu sinkronisasi antara kebutuhan dunia usaha dunia industri (DUDI) dengan kurikulum SMK. Apalagi pemerintah tengah menargetkan komposisi sekolah lanjutan: 70% SMK dan 30% SMA. 

Tidak hanya menyarankan, dirinya sudah aktif bersafari mengikuti forum-forum sinkronisasi yang diadakan dengan sekolah kejuruan maupun sebagai guru tamu dalam rangka menularkan “virus-virus” jiwa entrepreneur. 

Dari pengalaman merekrut karyawan maupun membimbing siwa magang di sejumlah perusahaan yang dimiliki, Siswanto mengaku masih menemukan anak SMK yang belum memadai kompetensinya. “Contohnya anak lulusan jurusan Akuntansi tapi disuruh menjurnal transaksi keuangan masih bingung. Cara mengisi pajak PPh21 juga belum mengerti. Padahal keterampilan mengisi PPh dan PPN sangat dibutuhkan dunia kerja. Apalagi sekarang pemerintah akan menerapkan NIK sekaligus sebagai NPWP,” kata alumnus SMKN1 Glagah Banyuwangi itu. 

Siswanto berharap agar softskill siswa SMK dibangun dengan sungguh-sungguh karena hal itu akan menjadi kunci kesuksesan. Soft skill seperti disiplin, tanggung jawab, sopan santun sangat penting. Penilaian pertama yang dilakukan DUDI adalah dengan melihat soft skillnya, bukan nilai rapornya. (adrionomatabaru.blogspot.com)



Previous
Next Post »