ASYIKNYA KEROYOKAN

  

Ada banyak cara untuk dapat menulis buku. Tapi ada satu cara yang asyik dan praktis yaitu dibuat dengan cara keroyokan. Seperti bunyi iklan rokok “asyiknya rame-rame”, membuat buku antologi memang seru. Sebagai sebuah metode pembelajaran, membuat buku bunga rampai memang cara efektif dan efisien. 

Adalah rekan saya Cak Teguh Wahyu utomo yang tak pernah kehabisan energi untuk memprovokatori orang-orang agar gemar menulis dan punya karya buku. Caranya? Ya ayo bikin tulisan bareng-bareng.  Dengan persuasif dilemparnya satu topik menarik. Pancingan ini ternyata membuahkan hasil. Selama masa pandemi Covid-19 sudah banyak buku antologi berhasil dibidaninya. 

Saya senang karena berkesempatan nimbrung di salah satu proyeknya, yaitu di “MERANTAS BELENGGU Dari Pribadi Unconfindent Jadi Lebih Percaya Diri” yang terbit bulan ini. Sebelumnya saya juga sempat urun karya dalam buku antologi “Kiat Hidup di Tengah Pandemi.” 

Sungguh ini kegiatan positif yang edukatif. Sebuah proses belajar menulis yang jitu. Langsung learning by doing. Peserta ditrigger dengan tema tertentu, langsung diminta menulis. Selanjutnya melalui daring dan grup WA pendampingan intensif dilakukan dengan smooth. Perbaikan naskah dan penyuntingan menjadi proses belajar yang utuh. 

Dengan tampil bersama dalam satu buku, otomatis semua penulis akan dapat saling asah, saling isi, saling melirik karya rekan yang lain. Dan di situ terjadi proses belajar yang nyata dan bermakna. Oh ternyata banyak cara dan bentuk ekspresi, meskipun untuk satu topik yang sama. 

Sebuah antologi memang seperti rangkaian bunga rampai. Setiap bunga menghadirkan keindahan dan keharumannya sendiri-sendiri. Dan pembaca berhak menikmati dan mengomentari dengan persepsinya sendiri. 

Karya antologi bisa menjadi sarana menjalin silaturahmi. Saya jadi kenal banyak teman penulis baru dari  berbagai daerah, bahkan ada yang dari LN. Menyenangkan dan memicu semangat menulis. 

Tentu saja antologi bukanlah tujuan akhir. Ibarat pelukis, tidak selamanya akan ikut pameran bersama. Mereka pasti terobsesi  berpameran tunggal suatu saat nanti. Tetapi, tentu saja menulis buku sendiri tantangannya jauh lebih berat.   

Tidak sekadar menyetor satu tulisan, lalu dikonsultasi, direvisi dikoreksi editor, dan jadi. Penulis tunggal perlu merancang ide dan segalanya dengan cermat. Hingga nantinya akan menghasilkan  bangunan karya tulis yang kokoh melalui bab demi bab yang sistematis, mengundang minat baca, dan bermanfaat. 

Semoga 47penulis antologi Merantas Belenggu ini nantinya benar-benar mampu melepas belenggu dengan cara  menerbitkan buku sendiri-sendiri. Aamiin, ngono lho, Rek (*)

Previous
Next Post »