TALAS

Gadis kecil kelas 5 SD Inpres itu tengah memandang tanaman yang ada di perkarangan rumahnya di Dusun Sumberrejo, Desa Senduro, Kab. Lumajang. Anak seusia itu tidak mungkin sengaja melakukan  pemikiran reflektif. Namun boleh jadi ilham tengah menghampirinya. Kemudian mengendap menjadi cita dan prinsip hidupnya kelak.

Saat itu dipandangnya pohon mangga, jambu air, maupun ubi talas. Tiba-tiba dia menyadari bahwa ada kesamaan di antara semua tanaman tersebut. Mereka sama-sama berusaha untuk tumbuh lalu berkembang dan menghasilkan buah.

Menariknya, para pohon itu sama sekali tidak membutuhkan buah yang dihasilkannya. Dipersembahkan semua buahnya untuk manusia dan makhluk hidup lainnya. Kalaupun sang pohon punya kepentingan, itu “hanyalah” ingin menitipkan bijinya di dalam buah, semata demi keberlanjutan generasinya.

Lalu, Siti Khoiriyah, perempuan kecil itu, membatin dalam hati, “Nanti, kalau saya sudah jadi orang, saya ingin menjadi seperti tumbuh-tumbuhan itu.“

Ternyata untuk menjadi “orang” tidak segampang yang dibayangkannya. Kemiskinan telah memaksanya untuk bekerja ekstra keras agar bisa survive. Keterbatasan akses menjadikan dirinya kesulitan mendapat pinjaman kredit.

Sepeda motor satu-satunya dijual untuk modal usaha keripik ubi talas (mbothe) bersama suaminya pada 2006. Tapi nasib tidak sedang berpihak. Motor lenyap, usaha merugi. Tetapi mereka memaksa diri untuk bangkit karena hanya itu satu-satunya pilihan. Kebangkitan yang tidak sia-sia. Ketika secara bertahap usahanya membesar, dan cibiran dan hinaan yang biasa diterima pun berangsur sirna.

Kini produk perempuan usia 53  tahun itu telah mampu menembus ribuan pusat perbelanjaan dengan merek Sang Ratu. Setiap hari harus mengupas berkarung-karung talas untuk digoreng. Puluhan ibu-ibu setiap hari setia ke gudangnya, menjadi buruh lepas pengupas talas. Sekitar 35 ribu petani talas memasok bahan dan menjadi mata rantai bisnis makanan ringan itu. Dalam sebulan Bu Siti mampu mengirim puluhan ton ubi talas ke pabrikan di Jakarta dan Bandung. Omzetnya mencapai miliaran rupiah.

Dirinya bersyukur telah mampu membantu tetangga dan banyak orang, mengajak bermitra untuk sama-sama mencari nafkah. “Beliau-beliau itu adalah orang yang membantu doa-doa sehingga semua ini menjadi sukses,” katanya tentang ribuan orang yang bergabung dengannya.

Kiranya Sang Ratu Talas itu telah meraih cita yang diangankan semenjak SD kelas lima. Bahkan Bu Siti telah menjelma menjadi tumbuhan talas itu sendiri. Sebuah tanaman kelas rakyat tetapi memberi banyak manfaat dan berkontribusi kepada masyarakat. Talas yang oleh sebagian lidah dirasa gatal (karena salah proses memasaknya) atau sekadar camilan tidak berkelas, toh telah menyejahterakan ribuan orang. Kini gagasan terus berkembang, Bu Siti berniat mendirikan pabrik yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, ingin mengekspor produknya, seraya berharap keripik talas menjadi oleh-oleh ikonik Lumajang.

Agaknya kisah ini menunjukkan bahwa ternyata cita-cita tidak harus selalu eksplisit: ingin menjadi ini atau ingin menjadi itu. Tidak harus dibayangkan dan divisualisasikan dengan detail di dalam pikiran, sebagaimana yang dianjurkan oleh para motivator zaman now.

Bisa saja dilakukan dengan duduk tenang sembari memandang keadaan dan merenungi segenap ciptaan Tuhan. Sangat mungkin sebuah ilham akan hinggap, lalu mengeram di dasar benak dan menjadi cita mulia. Mampu menghasilkan “buah” yang dapat dinikmati bersama dan oleh sesama.

 (adrionomatabaru.blogspot.com)

 Foto: lumajangsatu.com

 

 

Previous
Next Post »