Perhatikan,
apa yang dilakukan pemain sirkus, sesaat setelah tuntas menampilkan serangkaian
atraksi yang memukau? Di tengah gemuruh applaus
penonton, dia justru merapatkan kaki, membungkukkan badan dengan takzim. Lalu merentangkan
tangan kanannya sebagai simbol penghormatan.
Riuh tepuk tangan dan kekaguman tidak dijawab dengan teriak histeria apalagi dengan membusung dada. Pemain sirkus itu paham benar dengan filosofi panggung hiburan: tanpa penonton, tidak berarti semua kehebatannya.
Ucapan terima kasih yang tulus di setiap ujung pementasan adalah pengakuan atas pentingnya peran penonton. Sekaligus juga penanda kedewasaan diri.
Di panggung lain, para politisi juga tengah bermain sirkus untuk berebut suara. Melakukan gerakan akrobat seru, bermanuver dengan trik yang kadang tak masuk akal, rela berjumpalitan demi meraih simpati.
Tetapi ketika kompetisi demokrasi usai, manakala suara terbanyak telah diraih, coba perhatikan: apa yang mereka dilakukan? Menunduk menghormat kepada para pemberi amanah? Atau bergegas memunggungi karena sudah tidak diperlukan lagi?
Tidak perlu malu belajar kepada si badut sirkus. Belajar menyadari pentingnya rakyat yang rela menyiapkan kursi mulia baginya. Sungguh, tanpa pemilih, mereka bukan siapa-siapa. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon