PAHLAWAN TUNARUNGU

 

Tak hanya kesedihan yang dapat menimbulkan rasa haru. Kesuksesan juga punya efek yang sama. Lihatlah, bagaimana air mata kita ikut menetes tatkala tim kesebelasan kesayangan kita menang dalam adu finalti di grand final, atau ketika menyaksikan anak diwisuda atau menikah.

Manusia memang unik. Kebahagiaan dan kesusahan diekspresikan dengan cara yang sama: linangan airmata.  Rupanya ada dua jenis keharuan yaitu haru duka dan haru bahagia.  Tetapi akhir-akhir ini, entah kenapa, mripat saya lebih gampang berkaca-kaca dengan keharuan jenis yang terakhir itu. Tidak lagi hanyut dalam sinetron melow atau cerita fiksi tragedi. Tetapi justru mudah meleleh dengan pribadi-pribadi yang berjuang menggapai cita atau sosok-sosok yang berbuat kemuliaan bagi sesama.

Seperti tadi pagi saya menyaksikannya di televisi, lalu kutonton ulang di Youtube. Kiprah pendiri sekolah SLB-B Prima Bhakti Mulia di Kota Cimahi, Jabar. Bu Pin Sudiraharti gigih melatih anak-anak tunarungu untuk belajar berbicara dan baca tulis. Ini jelas sangat sulit, hampir mustahil. Sebab biasanya anak tunarungu cenderung tinawicara  sebab dia sama sekali tidak pernah mengalami mendengar sedenting bunyi.

Tapi para pendidik di sekolah itu pantang mundur. Diajari siswanya melafalkan huruf dan kosa kata dengan metode oral. Misalnya saat mengajarkan kata “ba”, Bu Pipin perlu menggunakan media secarik kertas kecil. Beliau memberi contoh mengucapkan huruf “ba” sambil tangannya memegang ujung kertas  di depan mulutnya. Otomatis kertas akan berkibar ketika terkena embusan nafas yang dikeluarkan oleh kata “ba”.

Lalu masing-masing siswa bergiliran mencoba. Siswa pertama mengucapkan “ba”, terlihat kertas itu bergoyang. “Bagus sekali,” puji Bu Guru. Lanjut siswa kedua melakukan hal yang sama, tapi kertas  hanya bergetar sedikit, berarti lafal yang diucapkan kurang sempurna. Untuk kesuksesan “sekecil” itu pun Bu Guru sudah mengapresiasi dengan acungan jempol.

Berikutnya siswa ketiga membuka-buka mulutnya, berupaya meniru rekan-rekannya, tetapi  sayang belum mampu mengeluarkan suara sehingga si kertas tipis pun tidak bergerak sama sekali. Kelihatannya dia belum paham bagaimana caranya bersuara. Jadi, betapa butuh berlapis-lapis kesabaran untuk mengajari anak-anak berkebutuhan khusus itu.

Tentu tak terbilang banyaknya hambatan yang dihadapi guru untuk mengajarkan 26 abjad sebagai perangkat dasar perangkai kata-kata. Bahkan untuk mengajari agar bisa melafalkan huruf “Y” pada kata “ayam”, lidah pada beberapa siswa perlu ditekan pakai spatel, sebuah alat penekan lidah dari stainless mirip sendok. Berdasar pengalaman guru di sana, yang paling susah diajarkan adalah perbedaan antara konsonan “K” dengan “G”.

Maka sungguh menakjubkan jika kemudian ada siswa yang sudah terampil diajak bertanya-jawab sederhana. Ketika dilontarkan pertanyaan, dengan arkulasi yang jelas dan tidak tergesa, kamu belajar apa?, seorang siswa tampan mampu menjawab terbata-bata: “ma-te-ma-ti-ka… dan… kom-pu-te.”  

Subhanallah. Juga sebuah prestasi yang mengharukan, ketika di antara mereka sudah “fasih” mengucapkan salam, “assalamualaikum.”

Dalam program Heroes episode “Memecah Sunyi, Meraih Mimpi” itu reporter televisi CNN Indonesia mencoba bertanya kepada Bu Pipin tentang sejauh mana keberhasilan pembelajaran metode oral bagi tunarungu, yang diklaim satu-satunya metode yang diterapkan di Jawa Barat itu.

“Apakah Anda yakin dengan efektivitas  metode oral ini?”

“Secara teori tidak meyakinkan,” jawab Pendiri SLB itu berterus terang, “tetapi justru wali murid yang meyakini dan mendorong saya untuk terus melakukannya. Dulu hanya dua walimurid yang percaya, lalu 10, sekarang sudah 100 lebih walimurid yang menyekolahkan anaknya ke sini.”

Di sekolah tersebut anak-anak belajar aneka macam pelajaran. Membaca, menulis, berhitung, dan berbicara. Siswa dibagi dalam tiga jenjang. Tingkat 1, 2, dan 3. Di saat jam istirahat mereka terlihat bermain dan berbincang dengan sesama siswa yang memiliki keterbatasan yang sama.

Pada pelajaran ekskul siswa asyik memainkan angklung bersama. Mempersembahkan lagu “Kebunku” yang merdu, tetapi sama sekali tidak mengalun di telinga mereka. Di ujung penampilan siswa-siswa hebat itu tampak bahagia karena tahu mendapat apresiasi, cukup dengan cara menatap ekspresi wajah penonton dan memerhatikan applause tepuk-tangan dalam senyap.

Rupanya para guru di situ adalah orang-orang ektraordinary yang telah selesai dengan egonya. Aktivitasnya tidak lagi transaksional. Tidak lagi ngomong aku dapat apa dan untung berapa, tetapi justru sebaliknya: apa yang dapat saya lakukan buat sesama?  Di SLB Prima Bhakti Mulia siswa membayar SPP secara sukarela, bahkan sebagian siswa bebas biaya.

Melihat superhero konkret seperti itu saya salut dan haru. Tepatnya haru plus cemburu. Sebab saya, masih seperti orang kebanyakan, hanya mampu berempati tetapi belum berpartisipasi. Baru dapat mengapresiasi, belum banyak berkontribusi. (adrionomatabaru.com)




 

 

 

Previous
Next Post »