SAPA MLAKU BAKAL PAYU

Siang tengah terik ketika dia berteduh di tempat ojol biasa mangkal. Puluhan mainan tradisional yang masih terikat ban karet ditaruh di sebelahnya. Dugaan saya, itu berarti masih banyak dagangan yang belum laku dijual.

 “Ngasoh sekedap. Sikil pegel,” katanya dalam bahasa Jawa kepada saya yang berada di dekatnya.

Saya lantas bertanya sudah darimana saja semenjak pagi?  Dijawab tadi dimulai dari kawasan Comfeed, terus berjalan kaki lewat kampung-kampung berjualan hingga sampai di sini. Menurut GPS, jarak perusahaan agri-food  PT Japfa Comfeed di Buduran hingga perumahanku itu sejauh 5,5 km.

Usum Corona dospundi, Pak, sepi nggih?” saya iseng bertanya, meskipun saya sudah bisa menebak apa nanti jawabnya. Ternyata kali ini saya keliru.

Nggih wonten mawon, Mas,” jawabnya dengan senyum tenang, “Pokoke sikile kuwat mlaku, ya mesti payu.” Sebuah jawaban yang berbalut optimisme, bahwa rezeki pasti ada saja sepanjang mau berihktiar menjemputnya. Saya jadi berempati dengannya. 

Diapun bercerita bahwa rumahnya di kawasan Kejapanan, Pasuruan. Tepatnya di timurnya kawasan Apollo (restoran/bengkel. Setiap hari di menelusuri jalan yang berbeda. Kemarin, rutenya muter-muter di Sukodono, Sidoarjo barat.  Hari ini giliran Sidoarjo timur. 

“Begini ini, jualan sampai sore?”

“Tidak. Jam dua nanti sudah pulang.” 

Berdasar pengalamannya, jualan mainan siang hari tidak efektif, karena tidak ada anak bermain pada jam-jam itu. Dulu dia jualan di pasar atau di PAUD/TK. Tapi gara-gara sekolah diliburkan dia mengubah strategi. Jemput bola, menjajakan langsung mainan burung-burungan ke konsumen. 

Semula saya melihatnya sebagai orang yang susah, tapi sepanjang perbincangan dengannya saya tidak mendengar keluhannya sama sekali. Sempat diakui bahwa pandemi menurunkan penghasilan tetapi itu dipandangnya sebagai sebuah kewajaran. Menurutnya rezeki itu kadang ya pasang, kadang ya surut. 

Sangat mungkin saya terlanjur terjebak pada persepsi dan stereotipe umum bahwa pedagang mainan pastilah kelompok manusia susah. Padahal belum tentu demikian. Dia mungkin baik-baik saja dengan “kesederhanaan” yang melingkupinya. Sebab realitas kehidupan yang dijalani sudah seperti itu. Analogi kebalikannya, seperti halnya orang yang sudah kaya raya semenjak lahir, maka “keberlimpahan” harta bakal dirasakan sebagai hal yang biasa-biasa saja. 

Pedagang ini seolah tak peduli bahwa sudah lama dolanan tradisional macam itu tergilas oleh mainan modern. Juga telah terjadi perubahan besar-besara perilaku anak milenial. Mereka jelas lebih suka main gadget, ketimbang cuma mendorong-dorong dolanan yang bunyinya monoton serta kepakan sayap burung sponnya cuma naik-turun statis. 

Tetapi pedagang itu setiap hari tetap setia menjajakan barang jadulnya. Baginya, rezeki adalah pemberian Gusti, yang tidak terlalu berhubungan dengan tren atau kuasa pasar. Keadilan dan lindungan Tuhan kerap ditemui justru terselip di sela-sela ketidakadilan dunia.

Saya tidak tega bertanya berapa omzetnya karena khawatir hal  itu justru membuat dia jadi tidak nyaman. Tapi dari sikap dan jawaban-jawabannya yang sederhana, saya sudah mendapat banyak masukan. Pelajaran mahal tentang kerja keras, ketenangan menghadapi ketidakpastian, ikhtiar, hingga tidak berharap pada bantuan tunai atau subsidi untuk karyawan swasta. Karena di saku celananya memang tidak ada kartu BPJS Ketenagakerjaan.

 (adrionomatabaru.blogspot.com)

 

 

 

 

 

Previous
Next Post »