GILINGAN JAGUNG

 
Ini alat jadul untuk menggilas biji jagung agar remuk menjadi butiran kecil untuk dibuat nasi jagung. Sebuah nasi KW2, yang dulu ditanak di kala nasi beras masih dianggap barang mewah.  Kadang jagung dioplos dengan beras sebagai upaya untuk sedikit menaikkan kelas sosial di mata tetangga.  Kini berbalik, nasi jagung malah dicari penderita diabetes karena, katanya, Indeks Glikemik-nya paling rendah dibanding nasi putih atawa kentang.

Ketika bocah, saya masih pernah merasakan sensasi memutar gilingan jagung, ketika liburan semester di rumah Pak Lik di Desa Kucur Purwosari. Merasakan grenjel-grenjel geli ketika biji jagung mulai remuk digencet dua lempeng batu penggilingan yang cukup berat itu.

Tapi sebutan gilingan jagung sebagai alat jadul sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Sebab dia adalah teknologi canggih pada zamannya. Hanya waktu yang membuatnya menjadi jadul. Persis seperti hape Blackberry yang dulu kita genggam penuh rasa bangga tiba-tiba dianggap katrok. Dan tak lama lagi keasyikan kita main medsos di dunia maya, sangat mungkin bakal diketawain anak cucu.

Jadi kuno dan canggih hanyalag soal waktu. Yang pokok, apakah dia berperan penting pada masanya. Bahkan peran pun ternyata bersifat situasional dan kontekstual. Mekanisasi dan otomasi alat petanian yang canggih tidak selalu cocok bagi petani gurem berlahan sempit. Begitu juga pembelajaran daring tidak pas bagi siswa tak bergawai dan yang melet-melet jika terus-terusan dipaksa membeli pulsa.

Kadang teknologi tepat guna justru lebih bermanfaat ketimbang teknologi sophisticated. Kalau cuman kepingin menggiling jagung sekilo atau dua kilo jagung,  tentu lebih tepat pakai gilingan manual ketimbang dengan mesin yang digerakkan robot CNC.

Lalu: sebaiknya kita perlu menjadi pribadi canggih atau cukup menjadi pribadi tepat guna? (*)

• Tweet
• Share
• Share
• Share
• Share

Sign up here with your email