Setengah abad sudah mereka bersahabat. Kali pertama kenal, tahun 1971, yaitu saat pintu gerbang Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya dibuka. Lalu 135 anak muda dari berbagai daerah memasuki lembaga itu untuk menimba ilmu. Sampai sekarang, persahabatan itu tetap bertahan, bahkan makin menguat saja. Silaturahmi yang dijaga telah membentuk rasa saduluran sak lawase.
Dulu sebagai sesama mahasiswa mereka berinteraksi,
berbagi, dan berdebat. Gembira belajar malam-malam di bawah sinar lampu terang di
emperan Laboratorium Fisika Faal dan Biologi. Kalau sudah lelah tidur di
musala. Tidak selalu serius
mengerjakan tugas, kadang hanya ngobrol DAN gaple
di bawah pohon, lalu saling traktir beli tahu petis di kantin.
Setelah diwisuda merekapun bersiap menyongsong
tugas di segala penjuru Nusantara. Ada yang ditempatkan di Puskesmas Pulau Raas
Sumenep, di Haliliuk Atambua NTT, di Pinrang Sulsel, di Lampung, hingga di
Wamena Papua. Semua berpencar menapaki jalan hidup sendiri-sendiri.
Seiring dengan berjalannya waktu sebagian dari alumni
FK 1971 balik ke kampus, mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Maka
semakin bervariasilah spektrumnya. Ada yang berkembang menjadi ahli penyakit
dalam, spesialis paru, saraf, hingga pakar radiologi-nuklir. Ada juga yang terus mendaki hingga berdiri di
puncak menara akademik: menjadi profesor. Sedang yang lain berkarier menjadi dosen, direktur rumah sakit, pebisnis,
hingga pialang saham.
Hari-hari ini mereka tengah mempersiapkan reuni
emas. Banyak ide bermunculan. Salah satunya adalah menulis buku tentang
persahabatan setengah abad tersebut. Buku yang mencatat jejak, prestasi, dan inspirasi, serta berguna untuk
cermin diri. “Kalau bisa dicetak agak luks, supaya tahan lama bila disimpan,”
usul Prof. Bambang Soeprijanto.
Maka ketika dr. Agus Harianto, Sp.A (K), alumnus
71, yang juga Ketua Tim Pusat Pelayanan
Kembar Siam Terpadu RSUD Dr. Soetomo Surabaya, meminta Sefya Mawon dan saya turut membantu
mewujudkan gagasan tersebut, kami menyanggupi dengan senang hati.
Setelah berproses beberapa pekan, kami jadi
mengenal dunia kedokteran dari sisi internalnya, sisi manusiawinya. Ternyata
menarik sekali. Jadi turut membayangkan bagaimana gerah dan sumuknya bekerja dengan mengenakan baju
hasmat level tinggi. Merasakan waswas merambat setiap buka praktik di rumah, hingga keprihatinan
mereka setiap kali mendengar kabar duka ada rekan sejawat yang wafat karena terpapar
Corona saat bertugas.
Kami juga ikut tertawa ketika masing-masing alumni
bersedia memutar ulang memori masa kuliah. Mengingat masa perploncoan yang kasar dan intimidatif. Sepedanya diinjak-injak dan dilempar
ke parit. Tubuh peserta mapram yang diceburkan Kali Petojo yang kotor oleh
senior mereka. Termasuk mengalami masa wajib latihan mahasiswa (Walawa),
semacam wajib militer, yang lumayan berat. (Dengar-dengar, wajib militer
diwacanakan bakal dihidupkan kembali?).
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon