TUKANG JAGAL


Editor atau penyunting naskah punya julukan bermacam-macam, sesuai sudut pandang dan suasana hati yang menjulukinya. Kalangan reporter media cetak kerap menjuluki editor/redakturnya sebagai “tukang jagal”. Pasalnya, dia jengkel karena susah-payah nulis berita panjang, tahu-tahu dipenggal oleh editor hingga tersisa menjadi satu berita pendek. Tak jarang kejadian ini menyulut cekcok mulut. 

Sedang di mata sejumlah penulis, editor kadang hanya dipandang sebagai tukang koreksi, yang bertugas memperbaiki kesalahan typo, mbetulin tanda baca, dan melengkapi kalimat semata.  Meski tidak semua seperti itu. Beberapa orang yang karyanya saya editori sempat bilang: “Terima kasih, tulisan saya menjadi bagus dan enak dibaca.”

Padahal saya tidak banyak merombak karyanya. Hanya mengefektifkan kalimat yang mbulet dan bertele-tele. Mengembalikan posisi subjek, predikat, objek pada tempatnya. Melerai kalimat aktif dengan kalimat  pasif yang tumpang tindih, serta memberi finishing touch secukupnya.  

Sementara di mata penyair, bisa jadi editor menjadi sosok yang perlu diwaspadai. Bahkan, kalau bisa, dilarang menyentuh sama sekali. Bukankah puisi tidak bisa salah dan mendapat perlakuan istimewa? Kehadiran editor dikhawatirkan berpotensi merusak bangunan sajak maupun makna puisi.

Bagi saya editor adalah pembaca pertama, sebelum buku/majalah/koran dibaca oleh khalayak luas. Bila menemui kalimat kompleks yang membikin dahi saya berkerut, sudah pasti nanti pembaca lain juga akan mengalami hal yang sama. Maka tugas editor adalah membenahi kalimat tersebut agar gampang dipahami.  Sebab apapun “genre”nya, karya tulis tetaplah diniatkan sebagai sebuah komunikasi. Editor juga ibarat penjaga gawang agar tidak sampai kebobolan. Jangan sampai ada kesalahan fatal yang baru ketahuan setelah tulisan naik cetak atau diupload.

Hari-hari ini saya diminta membantu penerbit Media Ilmu untuk menyunting naskah buku-buku pelajaran agama untuk anak sekolah. Jenis buku yang sudah barang tentu bertabur bahasa Arab dan istilah spesifik peribadatan. Dan di situlah tantangannya. Juga dilemanya.

Misalnya saat bertemu dengan kosa kata “sholat sunnah jama’ qhosor taqdim” haruslah saya ganti dengan “salat sunah jamak qasar takdim”? Karena harus mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan mengikuti kaidah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) keluaran Permendikbud 50/2015.

Masih banyak lagi yang kadang bikin ragu hati. Misalnya istilah dalam ibadah haji yaitu “miqat” apa perlu diindonesiakan menjadi “mikat”? Atau “maqam” menjadi “makam”, karena pada dasarnya dalam bahasa kita tidak dikenal huruf “q”? Padahal penggantian huruf tersebut berpotensi mengubah  makna.

Kalau akhirnya harus digunakan, karena acuan formalnya memang PUEBI dan KBBI, maka penulis dan editor harus siap dengan risiko “diketawain” sebagian guru/ustad/ustazah/ pengguna buku tersebut  di sekolah nantinya. Bisa-bisa kami disebut sebagai orang yang gak ngerti tajwid. Lha mosok “sunnah” yang pakai tanwin diganti menjadi “sunah” dengan huruf “n” tunggal?

Sebetulnya sudah ada pedoman formal untuk mengatasi kasus-kasus seperti itu, yang cukup bikin hati lega. Yaitu Pedoman Transliterasi Arab-Latin hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 158 Tahun 1987 dan No 0543b/U/1987 yang berisi tentang pedoman konsonan, maddah (vokal panjang), hingga syaddah (tasydid).

Misalnya huruf  “shod” dalam “sholat” ditransliterasi menjadi “s”. Sehingga menjadi “salat”. Tetapi dengan catatan huruf “s” tersebut harus menggunakan tanda titik tepat di bawah hurufnya.  Kini sudah ada soffware untuk keperluan itu yang bisa diunduh ke laptop. Tetapi kemudian muncul masalah baru: apakah mesin cetak di penerbit nanti juga kompatibel, sehingga  mampu memunculkan simbol-simbol khusus itu?

Beberapa pihak kayaknya juga keberatan dengan sejumlah penerjemahan bahasa Arab ke bahasa Indonesia baku. Buktinya, atas permintaan Kemenag RI, akhirnya Balai Bahasa bersedia mengubah ejaan enam serapan bahasa Arab sebagaimana tercantum pada pemutakhiran KBBI, November 2019 lalu. Yaitu kata Alquran menjadi al-Qur’an, kakbah menjadi ka’bah, Baitulmakdis menjadi Baitulmaqdis, lailatulkadar menjadi lailatulqadar, Masjidilaksa menjadi Masjidilaqsa, dan rohulkudus menjadi ruhulkudus.  Tentu kebijakan seperti ini cukup membantu para editor.

Dari pengalaman menyunting buku-buku agama tersebut saya jadi menemukan satu julukan lagi bagi editor. Ternyata editor itu identik dengan “siswa abadi”. Dia dipaksa terus belajar tentang kaidah bahasa beserta perkembangan yang menyertainya. (*)  

adrionomatabaru.blogspot.com


Previous
Next Post »