GREGET RISET BATIK



Batik telah diakui sebagai warisan dunia tak benda. Ini membanggakan, tetapi pengakuan ini bukanlah stempel yang final. Ada konsekuensi dari pengakuan tersebut yaitu kesediaan Negeri ini untuk melestarikan dan mengembangkannya. Unesco juga terus memonitor untuk memastikan apakah transformasi dan regenerasi batik kepada kaum mudah telah terjadi di Indonesia.

Beruntung kami tadi siang berkesempatan melongok salah satu institusi yang tekun melakukan penelitian di pengembangan terhadap batik, namanya Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta. Di sini sedikitnya 12 peneliti bersama sekitar seratus karyawan bekerja demi kemajuan batik dan kerajinan Nusantara.

Sejumlah  uji coba dan inovasi telah dan akan terus dikerjakan. Tidak hanya dari sisi inovasi desain saja tetapi juga menyangkut soal kain bahan baku, teknologi pewarnaan, pemanfaatan buah kakao sebagai pewarna alami, hingga upaya mengelemininasi dampak limbah produksi batik.

“Saat ini kami tengah mengembangkan riset kain batik antibakteri, sehingga nanti bisa menjadi pakaian yang higienis dan menyehatkan,” kata Joni Setiawan, salah seorang peneliti di balai besar tersebut.

Di samping itu juga tengah diuji coba pembuatan pewarna alam batik dalam bentuk serbuk (powder). Harapannya hal ini dapat mempermudah perajin untuk memperoleh bahan batik dan dapat menggunakan dengan lebih praktis. Yang membanggakan, kalangan remaja kini banyak yang mengikuti diklat membatik yang diselenggarakan balai ini.

Untuk pelindungan konsumen, agar tidak terkecoh saat membeli batik,  BBKB menyosialisasikan  sertifikasi batik bagi pengusaha batik. Melalui prosedur ini, nantinya setiap produk batik akan  tertempel label sesuai kategori batik. “Ada tiga label. Pertama batik tulis. Kedua, batik cap, dan ketiga batik campuran tulis dan cap,” ujarnya. Dengan cara ini calon pembeli akan dapat kepastian bahwa batik yang dibeli (dengan harga relatif mahal) memang benar-benar asli tulis atau cap, bukan palsu.

Tetapi ada kendala di lapangan. Masifnya produk tekstil printing bermotif batik yang menyerbu pasaran, tidak mudah dibendung dengan labelisasi ini. Mereka juga tidak mau bila mata dagangnya harus diberi  label “batik printing” atau “batik tiruan.”  Ini beda dengan produk kulit yang telah bisa dibedakan secara eksplisit jenis bahannya. Ada “kulit asli”  dan ada  “kulit sintetis.”

Lalu apa sebenarnya apa definisi batik itu? Berdasar kriteria SNI, batik mensyaratkan empat hal: merupakan kerajinan tangan, cantingnya berupa canting dan atau cap, prosesnya menggunakan malam/parafin panas, dan motifnya mengandung makna. “Kalau mengacu ketentuan SNI, batik printing itu bukan batik,” kata Joni.

Tetapi tentu saja kita tidak bisa menafikan atau melarang keberadaan produk tekstil bermotif batik, sebab semua memiliki pangsa pasar sendiri-sendiri. Maka yang seyogyanya dilakukan adalah terciptanya transparansi dan “fairness”, sehingga calon pembeli batik akan mendapatkan barang sesuai yang diinginkan.

Kiranya perlu langkah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat awam tentang kiat praktis memilih keaslian batik.

Ya, tampaknya masih banyak “pe-er” besar kita dalam upaya menjaga batik yang sudah telanjur diklaim sebagai warisan dunia.

adrionomatabaru.blogspot.com



Previous
Next Post »