'MENCIPTA' ROMEO & JULIET



 Masih soal Toraja. Tapi ini  kisah “kecil” dalam narasi besar kultur suku yang bermukim di Sulawesi Selatan itu. Sebuah ranting atau carangan dari pohon besar kehidupan masyarakat adat yang masih mengukuhi ajaran leluhur,  agama Aluk Todolo.

Tetapi, sebuah realita tentang cinta terhalang, bolehkah disebut kisah kecil, hanya lantaran pelakunya bukan para bangsawan atau para pesohor?

Adalah Lobo dan Andui, dua remaja biasa dari Suku Toraja yang saling jatuh cinta. Tapi rupanya jalinan kasih mereka tidak berjalan mulus, lantaran orang tua mereka tiada menyetujui. Menurut Pak Sampe, tukang ojek petromaks di pemakaman Londa, perbedaan tana’ (kelas sosial) yang menjadi pangkal penghalangnya.

Seperti halnya dalam suku lainnya, di Toraja juga terdapat lapisan-lapisan sosial. Strata yang tertinggi adalah tana’ bulaan. Level di bawahnya ada kelas tana’ bassi, dan seterusnya turun beberapa tangga lagi, hingga tana’ kua-kua alias kelas rakyat jelata.

Perjaka Lobo dan gadis Andui terlahir dari  latar belakang tana’ yang  berbeda. Maka tidak mudah bagi keduanya untuk menyatukan belahan jiwa. Ada tentangan keras dari ambik dan amma mereka. “Indah cinta terlarang, gundah cinta dilarang, tiada restu orangtua,”  begitu penyanyi Bimbo bersenandung sedih.

Merasa terkekang belenggu tradisi demikian kokoh, dua sejoli itu lantas nekad mengambil solusinya sendiri. Pada suatu hari, di tahun 1972, Lobo dan Andui ditemukan tewas gantung diri bersama. Masyarakat pun gempar dengan berbagai respon dan pendapatnya sendiri-sendiri.

“Tapi karena keduanya masih sama-sama orang Toraja, mereka bisa dimakamkan di sini. Itu kepalanya,” kata Pak Sampe kepada saya, Son Andreas, Kiki, dan Luther sambil  menunjuk tengkorak di depannya.

Tampak dua tempurung berdampingan di salah satu lantai gua. Di belakangnya terdapat peti mati dan karangan bunga plastik. Di sekitarnya juga terdapat beberapa batang rokok. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, orang berkunjung ke gua Londa itu sama dengan berziarah. Karena itu mereka suka menaruh rokok, kadang menyelipkan uang, dengan maksud bersedekah kepada si mayat. Lihat, teman saya Son Andries juga mencoba selfi di dekat kepala keduanya.

Meski kejadian Lobo dan Andui  sudah terjadi 44 tahun lampau, tetapi tetap tidak terhapus dalam ingatan warga. Apalagi setiap hari dikisah-ulangkan oleh pemandu wisata sampai sekarang, dan mungkin juga esok dan lusa. Kelak kisah asmara remaja itu boleh jadi bakal menggumpal menjadi mitos. Atau setidaknya menjadi oleh-oleh nonmateri yang dapat dibawa wisatawan pulang ke rumah.

Agaknya obyek wisata juga butuh mitos, legenda, bahkan cerita-cerita picisan, untuk mendongkrak daya pikatnya.  Apalagi bila kemudian dibumbui dengan bisik-bisik beraroma mistik dan sensasi. Umpamanya, di dua tengkorak tadi keluar sinar atau kupu-kupu pada hari tertentu. Wah, tentu akan lebih seru.

Dengan bumbu seperti itu, siapa tahu kisah sejoli Lobo dan Andui bisa diasosiasikan oleh wisatawan bagaikan cinta abadi Sanpek-Engtay, Romeo-Juliet, Siti Nurbaya-Samsul Bahri, Sangkuriang-Dayang Sumbi, atau Roro Jonggrang-Bandung Bondowoso. Bukankah pada semua roman klasik itu isinya bertutur tentang kasih tak sampai, yang berakhir dengan sad ending? (adrionomatabaru.blogspot.com)


Previous
Next Post »