Sejak bulan kemarin ibu-ibu di kampung saya punya
kesibukan baru. Mereka berkumpul di salah satu halaman rumah warga sambil membawa
karung plastik berisi sampah kering. Ya, hari itu merupakan hari pertama warga
kami menjalankan program “bank sampah.”
Sampah dikumpulkan kemudian dipilah menjadi tiga
bagian: plastik, kertas, dan logam. Setelah itu, esoknya, ada mobil pikup
pengepul yang datang untuk menimbang dan membeli tumpukan sampah itu. Perolehan
masing-masing warga dicatat dalam buku Tabungan Sampah. Merekapun sepakat bahwa
sebulan mendatang akan mengulang transaksi serupa. Semua sampah laku dijual,
kecuali sampah kain dan kayu. Total penimbangan perdana berhasil terkumpul tak
kurang dari 87 kilogram sampah. Lumayan bukan?
Sodara, aktivitas ini kelihatannya sederhana. Hanya
sekadar menghimpun sampah. Mungkin tidak layak dimasukkan di status FB, di
surat kabar atau berita televisi yang gegap gempita dengan berita penistaan,
teroris, dan pembunuhan sadis.
Tapi sebagian besar warga di kampung kami merespon
dengan antusias. Bahkan pada penimbangan perdana itu Bu Wahyu menyetor
berkarung-karung limbah dengan aneka isi mulai dari botol sirup, koran, tas
butut, hingga sandal jepit. Sementara ada juga satu dua orang yang apatis bahkan
sinis: “Buat apa repot-repot menjual sampah? Memangnya dapat uang berapa sih?”
Sudah, biarkan saja si apatis dan penggembos itu
berkomentar. Sebab tidak mungkin kita dapat menyamakan pendapat semua warga. Yang
penting arus besarnya sudah mau menerima ide mengelola sampah di kampung, jalan.
Sebuah gagasan yang sudah lama berkumpar-kumpar sebatas wacana itu akhirnya
bisa diwujudkan juga.
Saya pribadi sangat mendukung aktivitas ibu-ibu
dasawisma itu. Apalagi saya telah melihat contoh-contoh konkret kesuksesan
pengelolaan bank sampah di beberapa kampung di Surabaya. Di RW 6 Kampung Bulaksari,
Kec. Semampir misalnya, bank sampah
sudah berjalan enam tahun lebih. Bahkan akhirnya mendapat bimbingan dari PT
Unilever.
Dalam setahun satu keluarga rata-rata bisa mendapat
uang tabungan sebesar Rp 300 ribu. Bahkan mereka yang produktif nyampah bisa memperoleh sekitar Rp. 500
ribu. Uang itu dapat diambil setahun sekali. Biasanya dicairkan menjelang hari
raya untuk semacam THR. “Kadang sepakat digunakan untuk piknik. Kita pernah rekreasi
ke Blitar dengan naik sampah,” kata Bu Heru Subijanto, isteri Pak RT.
Di Jambangan RW 3 lebih menarik lagi. Kampung ini
sudah punya rumah khusus untuk penampungan sampah sementara. Setiap dua pekan
sekali datang mobil pengepul untuk mengangkut “harta karun” itu. Di tempat
tersebut juga ada pelatihan daur ulang sampah menjadi kerajinan tas, membuat
kompos dan lain-lain. Sudah banyak isteri pejabat, PKK, mahasiswa, atau siswa datang
ke Jambangan untuk studi banding. “Pokoknya, kalau orang sudah tahu bahwa
sampah itu uang besar, mereka pasti mau seperti kami,” kata Pak Lurah Jambangan,
H. Budhi Setiawan.
Awalnya memang kecil, seperti yang tengah dirintis
di perumahan saya. Tetapi momen penimbangan pertama kemarin telah menimbulkan
gema, menjadi omongan yang menyebar kemana-mana. Dampaknya, banyak warga gang
lain jadi berminat untuk ikutan bergabung pada bulan beriktunya. Efek bola salju yang menggelinding ini semoga
menjadi gerakan yang lebih massal.
Terbukti sudah bank sampah bukanlah ide sederhana.
Gara-gara progam itu, cara pandang orang terhadap sampah menjadi berubah,
setidaknya bagi saya. Memang bukan revolusi mental, barangkali cuma
evolusi sikap. Pergeseran pandangan
secara perlahan dalam menyikapi timbunan sampah.
Contoh konkretnya seperti ini: jika habis minum air
kemasan, maka gelasnya tidak langsung dibuang begitu saja, seperti yang lazim
dilakukan sebelumn. Tapi kukumpulkan, bahkan disempatkan tuk kukupas tutupnya
hingga bersih. Sebab limbah gelas yang sudah bersih harganya lebih tinggi
ketimbang gelas dibiarkan begitu saja. Gelas bersih harganya Rp. 3.500 per kilo
sedang gelas biasa cuma Rp. 3.000 saja.
Kini semenjak penimbangan sampah itu muncullah kelakar
baru. Bila usai acara pertemuan PKK atau Yasinan rutin ada saja yang nyeletuk
menggoda: ”Gelasnya boleh dibawa pulang apa enggak?” Tuan rumah cepat-cepat
menimpali, “Jangan…itu jatah saya.” Semua pada
tertawa. Tampaklah sudah pergeseran persepsi terhadap sampah tengah berlangsung.
Bahkan beberapa waktu lalu, tatkala acara gathering dan outbond dasawisma di Kebun Raya Purwodadi, beberapa ibu dan bapak sukarela
mengumpulkan sisa gelas air kemasan, sekaligus membersihkan tutupnya, untuk
kemudian dibawa ke bagasi bus. Kardus dan sampah plastik juga diangkut serta.
Dari kejauhan seorang pemulung melihat perbuatan kelompok kami itu dengan
melongo, entah apa terpikir dalam benaknya.
Perubahan
Sikap
Di rumah saya sendiri juga berlangsung perubahan
kecil-kecilan itu. Ketika di meja tergeletak bungkus snack, tas kresek, dan bungkus sabun mandi istriku otomatis
memasukkan ke karung plastik yang sudah disediakan di samping rumah. Demikian
juga saya saat membantu menyapu lantai. Kantong kue maupun undangan manten yang
tersapu kupungut kembali. “Ini juga layak diper-timbang-kan,” kata hatiku.
Dari kenyataan itu saya menyadari ternyata sebagian
besar limbah kering rumah tangga adalah
plastik dan kertas. Dan semua itu bisa menjadi duwit. Sampah basah memang ada, tetapi tidak terlalu
banyak, jadi bisa diabaikan.
Tetapi yang saya lihat di Kampung Dukuh Setro RW 1
Surabaya jauh lebih maju. Di sana sampah basah, kulit buah hingga sayuran, sudah
diolah menjadi kompos. Sampah
daun manggapun dijadikan briket. Bahkan sisa sayur basi dan limbah
minyak jelantah juga ditampung di bak khusus yang berisi serbuk gergajian kayu.
“Ini nanti bagus untuk pupuk,” kata Ketua RW, Sony Sulaksono.
Menurut pengakuan para pengurus kampung di Bulaksari,
Surabaya, kegiatan bank sampah mampu menekan produksi sampah rumah tangga
sampai 70%. Komposisinya: sampah buang 30%, sampah basah (komposter) 20%, dan
sampah kering 50%. Oleh karena itu jika program bank sampah ini diberlakukan di
banyak tempat, terutama di kota, niscaya dampaknya akan signifkan bagi
perbaikan bumi dan kehidupan. Agaknya inilah wujud nyata dari ungkapan bijak:
berfikir global bertindak lokal (think
global, act local).
Program bank sampah yang baru berjalan sebulan di
kampung saya memang belum kentara hasilnya. Tetapi mungkin yang segera
merasakan perubahan ini adalah para
pemulung dan tukang rombeng yang biasa berkeliling di kawasan kami. Boleh jadi mereka
membatin, “sekarang sampah di kampung ini kok makin sedikit ya?” Ya, memang
kasihan, tetapi ini konsekuensi dari sebuah program.
Pada tingkat yang “ekstrim”, di Jambangan Surabaya misalnya,
pemulung memang sudah tidak datang lagi meskipun tidak terpampang papan peringatan
“Pemulung Dilarang Masuk!”. Buat apa masuk jika di situ tidak ada barang yang
bisa dipulung? Jangankan sampah, tong sampah pun sudah sirna dari depan setiap rumah.
Rupanya kampung RW 3 ini benar-benar bertekad mewujudkan kawasan nol sampah (zero waste). adrionomatabaru.blogspot.com. Naskah ini dimuat di majalah Sakinah,
edisi Desember 2016.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon