Selalu ada senyum di sela asap knalpot dan gerah
jalanan, asal mau mencari. Jalan raya tidak melulu berwajah keras, saling
serobot, dan sumpah serapah. Dalam kemacetan yang akut selalu terselip sebait puisi,
asal mau mencermati.
Daripada marah-marah kepada pengelola negara,
mengutuki rezim yang kewalahan mengurusi problem transportasi, lebih baik menikmati goresan kata di bodi-bodi truk, di kaca angkota, atau
stiker di buntut-buntut sepeda motor.
Karya-karya tulis jalanan itu menurutku tetap berhak
diapresiasi, meski tidak bakal masuk antologi puisi atau rubrik sastra ruangnya
para pujangga. Tebaran kalimat mereka
toh menghibur dan mengundang senyum bagi pembacanya. Yang pasti, komunikasi
telah terjadi. Penulis menyampaikan pesan, dan pesan itu telah diterima
pembaca, betapapun sederhananya gagasan yang dilontarkan. Bukankah itu juga yang
diingini dari hadirnya sebuah karya tulis, apapun genre-nya?
Lihatlah itu, tulisan besar di bak belakang prahoto
gandeng warna kuning: MAU PULANG MALU, GAK PULANG RINDU. Aha, siapa bilang
sopir tidak romantis? Badan boleh sekekar Rambo tapi hati ternyata bisa selembut
Rinto. Saya bayangkan sang pengemudi tengah galau. Entah kena apa dia tidak berani
pulang, tidak punya uang atau gara-gara katut
janda kembang.
Humor seputar cinta dan kehidupan rumah tangga khas
kaum marjinal kerap muncul dalam ekspresi mereka. Seperti: “CINTAMU TIDAK
SEBERAT MUATANKU”, “KUTUNGGU JANDAMU”, “PERGI DICARI, PULANG DIMARAHI”, “CINTA
DITOLAK DUKUN BERTINDAK”, atau “GARA-GARA
SMS BOJOKU MINGGAT”.
Ada juga sopir yang sok keren: “OJOK NGAKU AYU, NEK
DURUNG DIRABI SOPIR” (jangan mengaku cantik sebelum dinikahi sopir). Ada juga
yang bernada ultimatum: REWEL - PEGAT (jika rewel akan dicerai). Gayamu Cak,
seperti ngasih uang belanja ratusan juta saja sebulan.
Yang ini ungkapan hati dari jenis pribadi yang tahu
diri: “2 ANAK CUKUP, 2 ISTRI BANGKRUT”, “ORA PERLU TENAR, ORA PERLU SANGAR,
SING PENTING REJEKI LANCAR”. “LHA WONG
GEISHA WAE SELALU SALAH, OPO MANEH AKU!” Yang sedang sakit hati juga boleh berekspresi.
“AYUMU KOYO RATU, ATIMU KOYO ASU” atau “AKU TANPAMU BAGAI SEGO KUCING ILANG
KARETE. AMBYAAAR.”
Syair jalanan juga menggambarkan kedewasaan dan
penerimaan terhadap keadaan yang tak terlawan. Nah itu contohnya di kaca
angkota: NEK KESUSU YO BUDALO SUBUH (kalau tergesa, berangkatlah subuh), KEPINGIN
CEPET, MIBERO (ingin cepat, silakan terbang). Emang helikoper?
Bagi yang tidak bermobil, tetap bisa menitipkan
kesombongan lewat stiker di motornya: “BIASANYA NAIK MOBIL, BRO. MOBIL LAGI
DIPINJEM TEMAN NIH.” Hahaha… saya jadi ingat lagu dangdut lawas: Biar miskin
asal sombong.
Sopir yang doyan makan, memilih menulis “UTAMAKAN
SARAPAN” sebagai plesetan dari utamakan keselamatan. Tentu saja coretan yang
nyerempet-nyerempet pornografi juga ada. PAPAH PULANG MAMAH BASAH.
Sementara yang gemar “begituan”, ungkapannya ya
seputar itu: “1 MALAM 2 JANJI” atau “ JUAL BIBIT BAYI”. Tapi kok ya ada yang
tega menulis begini: “LALI RUPANE, ELING RASANE”(lupa wajahnya, ingat rasanya).
Hedeh… kelakuan seperti itu mbok ya
dihentikan. Dosa gede itu, Rek… (ciee… pesan moral).
Bukan itu. Pesan moral sebenarnya yang ingin saya
sampaikan dalam tulisan ini adalah: Jika Anda berminat menghayati dunia syair
jalanan maka jadilah juragan truk. Niscaya setiap saat Anda akan bebas
mengekspresikan kalimat yang Anda suka pada bodi armada truk Anda.
Salamat tersenyum di jalanan. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon