MARTABAK JURNALISTIK




Jurnalistik itu asyik, lho. Begitu bunyi tema diklat sehari yang diselenggarakan oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sooko, Mojokerto, Minggu kemarin. Saya setuju sekali dengan tema ini. Dan memang terbukti, seharian sebanyak 120 lebih siswa peserta diklat jurnalitik itu terlihat asyik berkegiatan. Mereka mengalami proses pembelajaran yang “fun” tapi maksimal, justru di saat hari libur sekolah yang mendung.
  
Saya bersama Pak Son Andries, Cak Bas Basuki, Mas Pietra, Mbak Tyas antusias terlibat di dalamnya. Turut ngancani, berbagi pengalaman, dan sharing wawasan dengan mereka. Sungguh saya selalu bersemangat bila diundang mengisi acara diklak jurnalistik di sekolah-sekolah. Soalnya, saya bertemu dengan anak-anak muda yang kelak bakal menjadi SDM andalan masa depan kita bersama.

 Payung kegiatan ini kelihatannya memang “cuma” eskul jurnalistis sekolah. Tetapi sejatinya yang terjadi lebih besar dari sekadar belajar teknik wawancara, menulis berita, memotret, dan me-layout agar bisa menjadi awak redaksi majalah sekolah Fast.

Di forum ini mereka belajar tentang hal-hal besar yang lebih mendasar: berlatih menuangkan gagasan ke dalam bahasa tulis dan bahasa visual, belajar berkomunikasi (dan melobi) orang lain dengan percaya diri, hingga mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap problem dan ketimpangan di sekitarnya.

Dalam kesempatan itu saya berbagi tips tentang cara mengatasi hambatan menulis yang lazim dialami oleh penulis pemula. Dengan berkelakar tips tersebut kuberi nama dengan teori martabak. “Lihatlah tukang martabat itu. Hal penting yang dilakukan adalah membeber adonan martabak agar menjadi lebar. Pokoknya dilebarkan, tidak peduli awalnya berbentuk lonjong atau robek,” kata saya memberi ibarat.

Demikian halnya dengan penulis. Hal penting yang harus dilakukan adalah membeber gagasan yang ada di pikirannya. Segera dibeber, itu kuncinya.  Jangan terlalu banyak memikirkan kalimat pertama demi mengejar kesempurnaan alinea pembuka. Toh itu bisa dilakukan nanti jika semua gagasan sudah tertuang semuanya.
  
Bahkan bila terjadi kesalahan ketik maka abaikan saja, agar proses mengalirnya ide tidak terhambat. Umpamanya menulis “asrama” keliru menjadi “asmara” ya sudah biarkan saja. Toh nanti ada waktunya untuk mengoreksi ulang. Jika dalam proses menulis nama seseorang kita lupa nama lengkap dan titelnya, atau tengah menulis data lupa detail angkanya, maka  seyogyanya kita beri saja tanda titik-titik atau kita beri warna merah. Kekurangan itu akan kita lengkapi  nanti setelah “martabak ide” sudah terbeber semuanya.

Jadi, yang perlu diutamakan adalah menjaga gairah menulis, spontanitas, emosi, dan imajinasi. “Teori Martabak” ini sebenarnya saya adaptasi dari teori otak kanan, teori quatum writing yang mashur itu, dan dari jurus menulis Flow-nya Pak Hernowo.

Remaja zaman sekarang memiliki kemewahan ruang ekspresi yang luar biasa dibanding remaja generasi saya. Dulu, kami menulis pakai mesin ketik jadul. Lalu untuk dapat menampilkan karya tulis di media cetak kita harus antre, berebut halaman yang terbatas, serta bersaing ketat dengan sesama penulis lain.

Sekarang wahana ekspresi terbuka tanpa batas. Ada Facebook, Instagram, Youtube, Line, Steller, hingga WhatsApp. Jika satu edisi majalah umumnya terbit seminggu sekali, di era medsos kita bisa menerbitkan karya satu detik satu kali. Dengan sekali pencet, karya kita beredar. Beredar ke seluruh dunia! (Hingga kini, bagi saya, ini sebuah keajaiban yang tidak bisa dipahami sepenuhnya.)
Di saat seperti ini, menurut saya, dasar-dasar ilmu jurnalistik seyogyanya dipelajari semua orang, bukan hanya mereka yang berminat dan bermimpi menjadi awak media saja. Sebab netizen sesungguhnya juga mengambil peran sebagai wartawan yaitu sebagai penyebar informasi.

Setidaknya orang-orang itu menjadi paham tentang pentingnya kata sekaligus bahayanya kata yang sudah telanjur diunggah di dunia maya. Akurasi informasi menjadi penting agar tidak menimbulkan kesesatan dan agar kita tidak sampai terjerat UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  Termasuk dapat mengukur tingkat kepantasan gambar yang ingin di upload, sehingga tidak sampai memasang gambar yang mengerikan, vulgar, membully, dan bermuatan SARA.
  
Pak Zainal Arifin Emka, Dosen Stikosa AWS Surabaya, malah  berpendapat, di era medsos ini setiap orang sebaiknya mengetahui kode etik jurnalistik agar mereka tidak bicara sembarangan di dunia maya, agar tidak asal hujat tanpa argumentasi dan tak peduli privasi maupun klarifikasi.
  
Sehari berinteraksi dengan siswa-siswa MAN Sooko Mojokerto terasa kurang panjang. Tetapi sebagai pertemuan awal dari sebuah proses panjang, kiranya ini sudah cukup memadai.
Semoga saja kelak di antara peserta diklat tersebut akan muncul para penulis dan fotografer andal dan bermanfaat bagi sesama. (adrionomatabaru.blogspot.com)


Previous
Next Post »